KEBIJAKAN penundaan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) telah memicu seruan aksi demonstrasi dari berbagai kalangan. Wajar jika kebijakan ini mendapat gelombang protes, mengingat ada 250.407 formasi CPNS dan lebih dari satu juta P3K yang masih menunggu Surat Keputusan (SK) pengangkatan mereka. korupsi
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) pada rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI, Senin (10/03/2025), memang membantah bahwa penundaan ini terkait dengan efisiensi anggaran.
Namun, publik terlanjur menilai bahwa kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari upaya penghematan anggaran yang tengah dilakukan pemerintah.
Sejatinya, efisiensi adalah langkah mulia. Pemerintah ingin memangkas “lemak anggaran” agar dana negara tidak dikorupsi dan bisa dialihkan ke sektor lebih prioritas. Seperti program Makan Bergizi Gratis. Namun, ironisnya, di balik kebijakan ini terselip kepentingan lain: pengumpulan modal Danantara, Badan Pengelola Dana Abadi yang digadang-gadang akan menopang pembangunan di masa depan.
Celakanya, yang menjadi korban justru birokrat di level bawah, mereka yang hanya sebagai “umbi-umbian” dalam birokrasi. Para pegawai honorer dan tenaga P3K yang selama ini menunggu kepastian pengangkatan harus menelan pil pahit akibat kebijakan ini. Sementara itu, belum terlihat itikad baik dari para pejabat kelas atas untuk turut berkontribusi dalam penghematan anggaran.
Seharusnya, efisiensi anggaran tidak menjadi beban bagi calon ASN dan P3K. Jika pemerintah benar-benar ingin melakukan penghematan, maka langkah yang lebih logis adalah memangkas gaji dan tunjangan pejabat tinggi, mencabut fasilitas mewah seperti rumah dinas tidak akan mengganggu kesejahteraan mereka yang sudah berlimpah, berbeda dengan birokrat kecil yang penghasilannya pas-pasan.
Penundaan tersebut bukan hanya merugikan individu terdampak, tetapi akan memberi efek domino terhadap perekonomian. Saat ini, Indonesia sedang menghadapi gelombang PHK besar-besaran di sektor manufaktur, dengan lebih dari 77 ribu pekerja kehilangan pekerjaan per 2024.
Jika pengangkatan ASN dan P3K juga tertunda, maka jumlah pengangguran semu akan semakin membengkak.
Akiabnya daya beli masyarakat turun, konsumsi melemah, dan ujung-ujungnya menekan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini berpotensi menciptakan tekanan deflasi karena konsumsi masyarakat yang menurun akibat ketidakpastian pendapatan. Jika tidak ada langkah mitigasi yang jelas, penundaan ini akan memperburuk situasi ketenagakerjaan dan merusak stabilitas ekonomi secara makro.
Di sisi lain, pemerintah tidak perlu khawatir bahwa kebijakan efisiensi di kalangan pejabat tinggi akan meningkatkan korupsi. Ada mitos yang menyebut bahwa gaji tinggi bisa menekan keinginan korupsi. Namun, berbagai kasus yang baru-baru ini terungkap justru membuktikan sebaliknya. Mereka yang sudah berpendapatan miliaran rupiah per bulan nyatanya tetap serahkan dengan korupsi.
Kasus dugaan korupsi di Pertamina yang mencapai Rp 968,5 triliun, skandal PT Timah senilai Rp 300 triliun. Juga kasus-kasus lain seperti BLBI, Asabri, dan Jiwasaraya menunjukkan bahwa penghasilan tinggi tidak serta-merta menghilangkan nafsu untuk menyelewengkan uang negara. Justru, semakin besar akses terhadap anggaran, semakin tinggi potensi penyalahgunaannya.
Penundaan pengangkatan ASN dan P3K bukanlah solusi yang bijak dalam mengelola anggaran negara. Alih-alih menunda pengangkatan pegawai yang sudah lama menunggu kepastian, pemerintah seharusnya mencari sumber penghematan dari pos-pos yang lebih logis. Yakni seperti pemangkasan fasilitas mewah pejabat atau efisiensi belanja birokrasi yang selama ini boros.
Jika efisiensi anggaran hanya berlaku untuk mereka yang berada di lapisan bawah birokrasi, sementara pejabat tinggi tetap menikmati berbagai fasilitas mewah. Maka kebijakan ini akan semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Reformasi anggaran harus berlaku secara menyeluruh, dengan keadilan sebagai prinsip utama.