RAMADAN sudah separuh waktu berjalan, dan tak lama lagi Lebaran. Menjelang hari raya Idulfitri, pola konsumsi masyarakat cenderung meningkat. Tradisi belanja kebutuhan hari raya, mulai dari bahan makanan hingga pakaian baru, seakan menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan. konsumtif
Namun, di tengah antusiasme menyambut Lebaran, daya beli masyarakat justru masih tertahan. Indikator kasat mata misalnya, biasanya sepekan setelah Ramadan pasar legendaris di Bandar Lampung, Bambukuning, sudah padat dan sesak oleh kerumunan masyarakat yang berbelanja. Tapi kini masih tampak lengang. Banyak masyarakat masih mengerem waktu berbelanja.
Selain kenaikan harga beragam kebutuhan, tekanan ekonomi akibat turunnya pendapatan sudah terlihat. Apalagi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) merebak dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Tentunya hal ini membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.
Data terbaru menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kontribusi lebih dari 50%. Sayangnya, tren pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang stagnan sejak 2024 mengindikasikan bahwa daya beli belum benar-benar pulih. PHK yang terjadi di berbagai sektor industri semakin memperburuk situasi. Bagi banyak keluarga, kehilangan pekerjaan berarti kehilangan daya beli, yang pada akhirnya menekan pertumbuhan konsumsi domestik.
Fenomena ini juga diperparah oleh pergeseran kelas ekonomi. Jumlah masyarakat kelas menengah yang berperan besar dalam perputaran konsumsi kini mengalami penyusutan drastis. Sejak 2019, hampir 10 juta orang turun kelas akibat tekanan ekonomi yang berkepanjangan. Mereka yang dulu berpenghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup kini harus lebih berhati-hati, bahkan mengandalkan tabungan untuk bertahan.
Situasi ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Jika daya beli terus melemah, dampaknya akan meluas ke berbagai sektor. Industri ritel, manufaktur, hingga jasa akan semakin terpukul, menciptakan efek domino yang berbahaya bagi perekonomian nasional.
Kondisi krisis ini tak cuma terjadi di Indonesia, tetapi juga masyarakat global oleh sejumlah faktor.
Pemerintah perlu bertindak cepat dan strategis, tidak hanya memberikan bantuan sosial atau subsidi sesaat, tetapi juga mencari solusi jangka panjang yang bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat.
Langkah konkret yang dapat diambil antara lain dengan memberikan insentif pajak bagi industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, menjaga stabilitas harga bahan pokok, serta mempercepat pemulihan sektor industri yang kini tengah mengalami deindustrialisasi.
Di sisi lain, program peningkatan keterampilan tenaga kerja juga harus dipercepat agar angkatan kerja yang terdampak PHK dapat segera terserap ke dalam lapangan pekerjaan baru.
Momen Lebaran seharusnya menjadi momentum kebangkitan ekonomi, bukan sekadar pesta konsumsi sesaat yang menyamarkan persoalan daya beli yang masih rapuh. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang berpihak pada masyarakat, memastikan bahwa setelah perayaan usai, perekonomian tetap bisa bergerak maju dengan daya beli yang lebih kuat dan berkelanjutan.