
Dosen Politik Islam UIN Raden Intan Lampung
SEJARAH mencatat bahwa para nabi tidak hanya diutus sebagai pembawa risalah spiritual. Tetapi juga sebagai pemimpin politik yang bertugas menegakkan keadilan, melindungi kaum lemah, dan membangun tatanan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah. Misi politik ini tidak berhenti pada masa kenabian, melainkan diteruskan oleh para ulama sebagai pewaris nabi (waratsatul anbiya’). Mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mengimplementasikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Juga nilai kemanusiaan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat agar misi rahmatan lil’alamin bisa terasa oleh seluruh penghuni planet bumi.
Namun, di tengah arus pragmatisme kekuasaan yang mengedepankan kepentingan praktis dan jangka pendek. Misi perubahan yang diamanatkan kepada para pemimpin negara (umara) dan pemimpin agama (ulama) seringkali berhadapan dengan tantangan yang kompleks. Pragmatisme dan tabiat kekuasaan yang cenderung mengabaikan prinsip-prinsip moral dan etika demi mencapai tujuan politik menjadi ancaman serius bagi upaya menegakkan keadilan dan kebenaran. Sehingga dalam konteks inilah, peran umara dan ulama menjadi sangat krusial.
Umara’ dan Ulama Ditengah Arus Politik
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia saat ini tentu memiliki tanggung jawab dan peran percontohan bagi negara-negara Islam lainnya baik di Kawasan Asia maupun luar Asia terutama dalam bidang penerapan pemahaman keagamaan yang terintegrasi dengan peroses tata kelola pemerintahan dan kekuasaan. Di satu sisi, siklus kekuasaan lima tahunan yang selama ini jalan sebagai harapan yang mampu melahirkan sosok pemimpin (umara) yang bisa menjadi imam dan nakhoda perahu besar bernama Indonesia dengan segala kemajemukannya.
Di sisi lain, negara-negara luar juga memandang dan berharap masyarakat muslim Indonesia bisa tampil sebagai best practice dalam menterjemahkan maksud dan makna beragama secara utuh. Namun, realitas sosial dan politik Indonesia saat ini justru terwarnai berbagai tantangan kompleks. Seperti ketimpangan sosial, korupsi, polarisasi masyarakat sebagai dampak dari keputusan politik, dan degradasi moral baik di level awam maupun penguasanya. Di tengah situasi ini, ulama harus mampu menggandeng para umara agar keduanya bisa bersinergi dalam mewujudkan kemaslahatan bangsa.
Ulama adalah kata jamak dari kata tunggal ‘alim (orang yang berilmu). Istilah ini merujuk pada orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam, khususnya dalam bidang ilmu syariah, akidah, akhlak, tafsir Al-Qur’an, hadis, fikih, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Dalam konteks Islam, ulama dianggap sebagai pewaris para nabi (waratsatul anbiya’) karena mereka bertugas menjaga, mengajarkan, dan mengamalkan ilmu agama yang diterima dari Nabi Muhammad SAW. Namun, tidak semua orang yang dianggap ulama memenuhi kriteria sejati sebagai pewaris nabi.
Ada pula yang menggunakan gelar ulama untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, masyarakat perlu bijak dalam mengenali ulama yang benar-benar berpegang pada prinsip kebenaran dan keadilan. Menurut Muhammad bin ‘Ajibah, seorang ulama memiliki tiga karakter utama: pertama, ‘Alim yaitu mewarisi ilmu dan pengajaran Nabi dengan landasan keikhlasan. Kedua, ‘Abid yaitu mewarisi Nabi dalam hal ahli ibadah dan mujahadah kepada Allah dan ketiga ‘Arif yaitu mampu meneladani Rasulullah dalam segala sikap baik sikap agama maupun sikap kenegaraannya.
Ulama dan Tanggungjawab Politik
Politik sering kali terlihat sebagai dunia yang penuh dengan intrik, kepentingan, dan pragmatisme. Namun, Islam sebagai agama yang komprehensif tidak memisahkan antara urusan spiritual dan duniawi, termasuk politik.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai pemimpin politik yang sukses dalam membangun masyarakat Madinah yang adil dan sejahtera.
Padunya antara Islam dengan politik serta kekuasaan tidak hanya diyakini oleh para sahabat Nabi SAW saja. Namun terus menjadi tradisi keyakinan dan pembahasan dalam Khazanah keilmuan Islam di kemudian hari. Sebut saja Imam Al-Mawardi, seorang praktisi sekaligus pemikir politik Islam (1058M) menjelaskan bahwa prinsip utama dari politik Islam adalah mensiyasati urusan dunia dan menjaga urusan agama.
Dalam sistem tata kelola pemerintahan Indonesia, semua unsur masyarakat baik penguasa (umara), ulama dan rakyat memiliki tanggungjawab yang sama. Mereka mendapat ruang dan kesempatan sama untuk menjadi bagian dari agen perubahan mewujudkan cita-cita kemerdekaan sesuai ruang dan kapasitasnya masing-masing.
Kompleksnya persoalan bangsa Indonesia saat ini tidak mungkin dapat selesai oleh umara saja atau ulama saja. Keduanya harus menjalin sinergitas dan kerjasama yang utuh. Agar beban dan mandat konstitusi tersebut bisa menjadi dasar bersama. Sehingga langkah menuju Indonesia Emas Tahun 2045 bisa terwujud.
Agama Menentang Sikap Pragmatisme Politik
Memanfaatkan isu agama demi mencapai tujuan-tujuan politik sesaat merupakan tindakan yang tidak terpuji menurut agama dan bertentangan dengan amanat konstitusi. Sikap ini selain mengandung unsur pelecehan terhadap kesucian agama juga bisa membahayakan eksistensi agama itu sendiri. Oleh sebab itu, setiap individu yang mendapat mandat kekuasaan. Baik di ranah agama maupun ranah negara harus mampu bertindak sesuai dengan aturan yang ada. Seorang penguasa seharusnya tampil sebagai contoh baik dan cerminan mulia untuk masyarakatnya dalam hal kepemimpinannya.
Begitupun pemimpin agama (ulama) harus mampu menyandingkan antara ilmu dan amal. Sehingga apa yang sampai kepada jamaahnya bisa di cerna, di mengerti dan di amalkan secara utuh dan holistis. Islam memandang pragmatisme politik dan kekuasaan sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Karena Islam memandang standar perbuatan adalah halal dan haram, bukan kemanfaatan atau kegunaan real. Yakniuntuk memenuhi kebutuhan manusia yang berbuah dari sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis.
Allah SWT. berfirman: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) lainnya.” (QS al-A‘raf [7]: 3).
Ayat ini melarang kita mengikuti apa saja yang tidak turun dari Allah. Termasuk manfaat-manfaat atau kegunaan-kegunaan yang muncul sebagai konsekuensi dari perbuatan kita.
Persoalan akan semakin sulit dan rumit ketika keinginan pribadi atau kelompok sudah terlabeli dengan kemasan kekuasaan dan politik. Politik ala Mawardi yang sejatinya untuk membuat tertib urusan dunia dan terjaganya kehormatan agama justru bisa menjadi tidak tertata dengan baik. Hiruk pikuk dunia politik terutama di saat kontestasi pemilu dan pilkada menjadi contoh nyata dari semrawutnya persoalan yang ada di masyarakat. Maraknya praktik KKN yang melibatkan penguasa baik di level pusat, daerah. Bahkan masyarakat sipil sekalipun semakin menambah berat tugas dan beban aparat penegak hukum. Dalam hal ini umara dan ulama untuk mewujudkan negara Indonesia sebagai baldatun thoyyibah.
Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH), M Hatta Taliwang, menyatakan, kehadiran partai politik (parpol) dalam sistem demokrasi merupakan sebuah keniscayaan. Namun, mengapa justru peranan parpol di Indonesia ternilai sebagian kalangan menjadi sumber persoalan. Menurutnya, sekarang ini parpol hadir di antara kekuasaannya yang sangat besar dan sewenang-wenang serta pragmatis, tidak loyalnya kader partai.
Sehingga banyak aktivis parpol yang loncat pagar dan menyeberang ke partai lain, serta tudingan ke oknum parpol yang cenderung transaksional.
Syeikh Abdussalam bin Barjas berkata “Jarang sekali kita menemukan orang yang bisa dikatakan sebagai alim. Sebab orang alim itu memiliki banyak sifat keilmuan. Bukanlah seorang alim orang yang pandai bicara dan orator ulung. Bukan pula orang yang pandai menulis buku, menebar tulisan atau hak cetak. Seorang alim tidak bisa terukur hanya dengan semua ini. Tetapi seorang alim yang hakiki adalah orang yang mampu memadukan kedalaman ilmu dan keperkasaan amal di tengah komunitas basyari yang minim kebaikan dan legasi. Untuk sampai pada hakikat ini, umara harus belajar menjadi ulama agar ia mampu menguasai nafsu kekuasaan. Sebab nafsu ini cenderung mengajak kepada keserakahan dan menaklukkan. Bahkan menguasainya dengan amal kebatinan yang tinggi sebagai berkah dari ilmu dan makrifat yang ada padanya.
Begitu juga sebaliknya, seorang ulama juga harus belajar menjadi umara agar kebaikan itu tidak hanya sebatas ajakan, nasehat dan harapan. Namun mampu menjelma menjadi sebuah kekuatan yang bertambah tajamnya oleh pisau kekuasaan dan menghasilkan karya nyata. Teramat bijaklah Khalifah Ustman bin Affan saat mengatakan betapa banyak kebaikan yang bisa terwujud oleh kekuasaan yang tidak bisa dilakukan dengan al-Qur’an. Untuk itu, ilmu menjadi kata kunci. Dan Allah berfirman: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. Yakni dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga individunya. (QS. at-Taubah:122)
Rasulullah SAW bersabda: “Senantiasa satu golongan dari umatku, melaksanakan perkara Allah Shubhanahu wa ta’alla, tidak membahayakan mereka orang yang menghina mereka atau menentang (berbeda) sehingga datang perkara Allah Shubhanahu wa ta’alla, sedang mereka nampak (menang) terhadap manusia.”
Imam an-Nawawi berkata: ‘Adapun yang maksud dari golongan ini, maka Imam al-Bukhari rahimahullah berkata: ‘Mereka adalah para ulama’. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: ‘Jika mereka bukan ahli hadits, maka saya tidak tahu lagi siapakah mereka.’ Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya maksud dari imam Ahmad adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan orang yang meyakini mazhab Ahli Hadits.’ Saya (an-Nawawi) berkata: ‘Bisa jadi bahwa golongan ini terbagi-bagi di antara berbagai golongan kaum mukminin. Di antara mereka adalah para mujahid fi sabilillah, Ahli hadits, ahli zuhud, orang-orang yang amar ma’ruf dan nahi munkar. Dan di antara mereka berasal dari berbagai golongan dari orang-orang baik (ta’at kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla), Maka tidak mesti mereka berkumpul dalam satu kelompok. Bahkan bisa jadi mereka terpencar di berbagai penjuru dunia.
Jika kita cermati secara mendalam apa yang disampaikan oleh Imam Nawawi diatas maka akan nampak bahwa semua kita memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi “thaifah” (golongan) yang dirindukan oleh Baginda SAW selama kita mampu menjadi orang yang bisa menebar kebaikan untuk siapapun.
Tetap jaga kekompakan dan jangan mudah dipecah belah.
Khalifah Umar bin Khaththab RA berkata: “Tetap bersama jama’ah dan hindarilah bercerai berai. Maka sesungguhnya syetan bersama satu orang, dan ia lebih jauh dari dua orang. Maka siapa yang menghendaki aroma surga maka hendaklah ia selalu bersama jama’ah. Siapa yang kebaikannya menyenangkan hatinya dan keburukannya menyedihkannya maka itulah seorang mukmin.”
Setidaknya ada dua agenda besar yang perlu menjadi perlu perhatian umara dan ulama saat ini. Pertama, bagaimana agar urusan tata kelola pemerintahan menjadi baik dan bersih sehingga air kesejahteraan bisa terbagi secara merata. Sehingga terasakan oleh semua yang berhak tanpa ada sekat politik dan kekuasaan manapun yang menghalanginya. Tidak ada sejengkal tanahpun yang ada di atas bumi pertiwi ini yang tidak bisa memberi sumbangan kesejahteraan. Terutama buat anak negeri ini agar mereka semakin yakin dan percaya akan manfaat dari hidup bernegara.
Kedua, bagaimana agar nilai-nilai besar Pancasila terutama Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bisa terwujudkan dalam tingkah dan laku semua warga negara. Ciri utama masyarakat yang berketuhanan, religi, taat agama dan saling menghargai satu dengan yang lainnya dalam bingkai trinitas kerukunan hidup beragama. Bagi umat Islam Indonesia, sebagai kelompok mayor sudah saatnya tampil terdepan memberi contoh sebagai nakhoda yang baik. Yakni yang memikirkan semua penumpang yang ada di atas perahu tanpa membedakan asal-usul dan tujuan perjalanannya kemana.
Semua penumpang harus mendapat layanan maksimal agar mereka bahagia dan menikmati indahnya perjalanan dan mereka tahu bahwa nakhodanya-pun sangat baik dan mengasyikkan!
Akhirnya, tulisan ini bukan hanya sekedar berbagi kata bijak dan nasehat di bulan yang mulia. Namun harapannya agar Gubernur, Wakil Gubernur Lampung, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota pasca pelantikan mereka beberapa waktu bisa saling bekerjasama. Juga sama-sama kerja dengan semua komponen dan unsur masyarakat, menjujung tinggi nilai kearifan lokal. Seperti anjau silau, sakai sambayan dan rame ing gawe untuk mewujudkan Lampung yang lebih baik. Peran Umara dan ulama kini menjadi tungguan masyarakat. Warga menunggu karya nyata dan bukan karya kata. Satu kata, tolong menolong dan tidak boleh ada kata tolong ‘menyolong’.