Bandar Lampung (lampost.co)–Universitas Lampung (Unila) membekukan Unit Kegiatan Mahasiswa Mahasiswa Ekonomi Pecinta Alam (Mahepel) setelah salah satu peserta Pendidikan Dasar (Diksar), Pratama Wijaya Kusuma, meninggal dunia diduga akibat kekerasan.
Wakil Rektor I Unila, Prof. Sunyono, menyatakan bahwa pihak universitas telah membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi secara independen. Tim tersebut beranggotakan unsur Bimbingan Konseling, Tim Layanan Kekerasan Perguruan Tinggi, psikolog, ahli hukum, pengembangan karakter, serta perwakilan dari BEM dan DPM Unila.
Tim ini akan menyelidiki tiga aspek kelalaian. Pertama, kelalaian individu. Kedua, kelalaian kolektif berupa kegagalan sistemik dari panitia atau organisasi. Ketiga, kelalaian institusi dalam pengawasan dan prosedur kelembagaan.
“Kami fokus menyelesaikan investigasi secara cepat, transparan, dan akuntabel. Pendekatannya berbasis pemulihan dan perlindungan terhadap korban dan keluarganya,” ujar Sunyono, Jumat, 6 Juni 2025.
Tim sudah mengumpulkan dokumen perizinan, laporan medis, serta bukti digital berupa video, foto, dan percakapan. Tim juga tengah menyusun kronologi rinci dan memetakan pihak-pihak yang akan dimintai keterangan. Unila juga menyiapkan sesi wawancara, asesmen psikologis, serta analisis hukum.
“Kami targetkan hasil investigasi lengkap beserta rekomendasi kelembagaan dan sanksi akan keluar dalam dua minggu ke depan,” tegasnya.
Langkah Pencegahan
Unila memastikan langkah pemulihan dan pencegahan tragedi serupa. Kampus menegaskan sikap nol toleransi terhadap kekerasan dalam bentuk apa pun. Semua proses investigasi terbuka untuk audit publik karena keselamatan mahasiswa menjadi prioritas.
“Jika kasus serupa terjadi lagi, kami dorong mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan untuk segera melapor ke pimpinan kampus atau melalui laman lapor.go.id,” tambahnya.
Sebelumnya, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) menggelar aksi protes menuntut keadilan bagi almarhum Pratama Wijaya. Koordinator lapangan, M. Zidan Azzakri, menyebut ada lima mahasiswa lain yang menjadi korban kekerasan selama diksar.
Para korban mengalami pemukulan, tendangan, hingga trauma. Salah satu korban bahkan mengalami pecah gendang telinga dan memutuskan mundur dari perkuliahan. Sementara empat korban lainnya mengalami tekanan psikologis dan ketakutan untuk berinteraksi dengan senior organisasi.
Zidan juga mengungkap bahwa kegiatan diksar sudah mendapat izin dari Dekanat FEB. Namun, pihak dekanat justru bersikap tidak bertanggung jawab dan meminta keluarga korban untuk mengikhlaskan kejadian tersebut.
“Bukannya memberi ruang diskusi, grup justru digunakan untuk meminta korban menandatangani surat pernyataan bahwa mereka tidak akan menuntut kasus ini,” ujarnya.
Salah satu korban, M. Arnando Al-Faaris, mengaku mendapat intimidasi agar tidak bersuara. Bahkan, dia menerima ancaman perubahan nilai akademik jika menyampaikan informasi ke pihak luar.
“Kalau saya cerita lagi, nilai bisa diubah-ubah. Ketika saya butuh bantuan, mereka tak mau membantu,” ujarnya.
Arnando juga mengaku dipaksa menandatangani surat yang menyatakan bahwa kekerasan selama diksar dilakukan secara sukarela. Ia menandatangani dokumen itu meski merasa terpaksa.
“Saya disuruh tanda tangan agar diam. Di surat itu disebutkan seolah-olah saya rela mengalami kekerasan, padahal tidak,” tegasnya.
Memanggil Pengurus Mahepel
Menanggapi hal ini, Dekan FEB Unila, Prof. Nairobi, mengaku telah memanggil pengurus Mahepel dan alumni pada 12 Desember 2024. Dalam pertemuan itu, pengurus Mahepel mengakui adanya kelalaian dalam pelaksanaan diksar.
Dekan FEB kemudian menjatuhkan sanksi berupa pembersihan embung Rusunawa kepada Mahepel. Untuk korban yang mengalami gangguan pendengaran, Mahepel telah bersilaturahmi ke rumah orang tua korban pada 24 November dan menyatakan bersedia bertanggung jawab.
“Dekanat siap membantu proses pemeriksaan lebih lanjut terhadap Mahepel. Jika ada bukti baru dari keluarga atau korban lain, kami terbuka untuk menindaklanjutinya,” pungkas Nairobi.