Bandar Lampung (Lampost.co) — Menjadi keluarga dari mantan narapidana terorisme (napiter) adalah bukan hal mudah. Ketika terpapar paham radikal, para orang tua menutup diri dari pendidikan formal. Mereka memilih mengirim anak-anak ke pondok pesantren yang sepaham dan tak memiliki memiliki ijazah formal.
Hal tersebut menjadi perhatian bagi Yayasan Mangkubumi Putra Lampung. Sebuah yayasan yang beranggota mantan napiter di bawah binaan Densus 88 Anti-teror Wilayah Lampung.
Kemarin, Sabtu, 9 Agustus 2025, mereka baru saja membuka kelas kesetaraan bersama PKBM Nusa Indah bagi anak-anak keluarga eks napiter. Mereka menggunakan sebuah bangunan sederhana wilayah Jalan Mahoni I, Way Halim, Bandar Lampung untuk kegiatan belajar mengajar.
Sementara dalam program itu ada 3 anak eks napiter Lampung yang ikut belajar. Mereka terbaurkan dengan peserta didik lain untuk kembali belajar bersosialisasi dan berhubungan dengan masyarakat umum.
“Paham radikalisme yang teranut oleh orang tuanya yang menyebabkan mereka tidak bisa sekolah pada pendidikan formal. Mereka menutup diri,” ungkap Melani Indra Dewi, Seksi Pemberdayaan Perempuan pada Yayasan Mangkubumi Putra Lampung.
Kemudian menurutnya, kondisi anak-anak dari mantan Napiter cukup miris. Mereka sama sekali tidak mendapatkan pendidikan formal. Bukan hanya karena stigma yang terterima, tapi juga orang tua mereka yang menutup diri.
“Kalau kita lihat ada yang ikut paket A (kesetaraan SD) padahal usianya sudah remaha. Itu artinya mereka gak pernah bersekolah pada sekolah formal,” tuturnya.
Lalu keadaan itu tentu menyulitkan mereka, baik untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi atau pun mencari pekerjaan. Apalagi lagi, setelah menjalani masa tahanan eks napiter tentu seperti mengulang kehidupan dari nol.
Kemudian sebagai orang yang berasal dari keluarga mantan napiter, Melani mengatakan kondisi tersebut membuat mereka terlambat dalam segala hal. Namun ia tetap meyakini tidak ada kata terlambat untuk belajar dan menjadi lebih baik.
“Memang terlambat, tapikan tidak ada kata terlambat untuk belajar. Mereka harus mengejar ketertinggalannya, walaupun mungkin tidak sama setidaknya mereka memiliki pendidikan yang setara dengan pendidikan formal,” katanya.
Bangun Mental dan Kemandirian
Sementara Ketua Yayasan Mangkubumi, Suprihadi menambahkan, pembukaan akses pendidikan ini merupakan pertama kali tergelar. Melalui akses pendidikan itu, para anggota keluarga mantan Napiter bisa berbaur kembali pada masyarakat.
Kemudian melalui program itu, sebenarnya tidak hanya memberikan pendidikan formal saja. Namun juga sekaligus menanamkan nilai-nilai kebangsaan kepada mereka agar bisa terterima oleh masyarakat.
“Misi dari kelembagaan kami ini adalah membangun kemandirian dan kesehatan mental dan para eks napiter,” ujarnya.
Selain membuka akses pendidikan formal, Yayasan Mangku Bumi juga bekerjasama dengan sejumlah pihak untuk memberikan keterampilan bagi eks napiter. Dengan mentoring dan pelatihan yang diberikan, harapannya para eks napiter itu mampu hidup mandiri dan kembali bermasyarakat.
“Kami mengadakan acara mentoring atau pendampingan kewirausahaan melalui program pertanian organik dan peternakan. Serta teknologi pembuatan tepung mocaf,” jelasnya.