Bandar Lampung (Lampost.co) — Kain tapis Lampung selama ini dikenal sebagai bahan pakaian khas yang identik dengan acara adat dan kegiatan formal. Ciri khasnya terletak pada teknik sulam tradisional yang sarat makna budaya. Namun, popularitasnya di kalangan anak muda cenderung rendah karena dianggap kaku dan kurang praktis untuk dipakai sehari-hari.
Fenomena itu mendorong Nana Saptina untuk menghadirkan terobosan melalui UMKM bernama Um Habib Galeri. Berlokasi di Kecamatan Panjang, Bandar Lampung, usaha skala rumahan tersebut memiliki visi besar: menjaga identitas budaya sekaligus membuat kain tapis Lampung lebih dekat dengan generasi muda.
Menurut Nana, tapis bukan sekadar kain, melainkan simbol budaya yang melekat pada masyarakat Lampung. Ia menilai sangat disayangkan apabila tapis hanya dipakai di acara formal, karena berisiko tidak lagi dikenal generasi mendatang.
Dari kegelisahan itu, Nana berinovasi mengubah kain tapis Lampung menjadi berbagai produk fungsional dan bernuansa modern. Koleksi yang ditawarkannya meliputi tas, outer, kaus, aksesori, hingga suvenir. Inovasi ini membuat tapis semakin relevan untuk dipakai sehari-hari oleh anak muda.
“Kami ingin tapis bisa digunakan semua kalangan, tidak hanya saat acara adat. Anak muda bisa percaya diri mengenakan produk tapis dalam aktivitas sehari-hari,” ujar Nana saat mengikuti Bazar UMKM PPUMI Lampung di PSR PKOR, Rabu, 20 Agustus 2025.
UMKM yang Memberdayakan Masyarakat
Awal pandemi Covid-19 menjadi titik pertumbuhan pesat *Um Habib Galeri*. Pesanan produk meningkat tajam hingga ratusan unit per hari. Ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggal Nana juga ikut diberdayakan dalam proses produksi.
Bahkan, ia sempat bekerja sama dengan pengusaha marketplace untuk memasok berbagai produk olahan tapis seperti totebag, slingbag, dan tas tangan. Momentum itu membuka peluang ekonomi bagi banyak warga sekitar.
“Banyak tetangga dan teman-teman lulusan pelatihan menjahit ikut bergabung. Mereka membantu produksi ketika permintaan sedang tinggi,” kenangnya.
Namun, dalam dua tahun terakhir, permintaan pasar menurun drastis. Pesanan dari marketplace berhenti, sementara penjualan offline tak mampu menutup penurunan tersebut. Kondisi itu memaksa Nana untuk melepas sementara para pekerja yang sebelumnya terlibat dalam produksi.
“Penurunan ini mungkin karena daya beli masyarakat menurun. Mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok,” ungkapnya.
Untuk bertahan, Nana kini mengandalkan penjualan melalui bazar UMKM dan dukungan Dekranasda Lampung. Meski begitu, ia berharap pemerintah bisa lebih aktif mendorong UMKM agar naik kelas.
“Pemerintah dapat membantu dengan cara menggunakan produk UMKM sebagai suvenir resmi dalam berbagai kegiatan. Jangan membeli dari grosir atau online shop luar, karena itu justru melemahkan pelaku UMKM lokal,” harapnya.
Dengan semangat berinovasi, Nana terus berupaya agar kain tapis Lampung tidak hanya dikenal sebagai pakaian adat, tetapi juga menjadi bagian dari gaya hidup anak muda. (Umar Robbani)