Jakarta (Lampost.co) — Kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah saat ini makin terjepit. Hal itu akibat berbagai faktor, seperti kenaikan harga barang dan jasa akibat inflasi dan pajak pertambahan nilai (PPN), cicilan yang terus menumpuk dan kebutuhan mendadak yang tak bisa diprediksi.
Sementara gaji yang tidak kunjung naik membuat kondisi finansial banyak keluarga berada di ujung tanduk.
Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengingatkan kondisi itu membuat kelas menengah rawan terjebak dalam lingkaran utang.
Ia menilai banyak masyarakat yang akhirnya bergantung pada pinjaman online atau cicilan konsumtif demi menutupi kebutuhan sehari-hari.
“Masalahnya, pinjaman online itu sebagian besar bersifat konsumtif. Uangnya habis untuk hal tidak produktif. Akibatnya, mereka terjebak lingkaran setan utang dan gajinya habis hanya untuk bayar cicilan,” kata Tauhid, Senin (6/10).
Tauhid menekankan pentingnya prioritas pengeluaran sesuai pendapatan. Menurutnya, masyarakat sebaiknya menghindari utang yang tak mendesak. Jika harus berutang, sebaiknya dana itu untuk kegiatan produktif yang bisa menambah penghasilan.
“Kalau mau cicilan, pastikan cicilan yang produktif, misalnya beli motor untuk ojek online. Tapi kalau nambah motor hanya untuk gaya hidup, itu tidak efisien,” ujarnya.
Ia mencontohkan, banyak masyarakat kini menggunakan cicilan untuk hal-hal seperti skincare, elektronik, hingga perabot rumah tangga. Namun, hal tersebut sebenarnya bukan kebutuhan mendesak. “Itu pola konsumsi yang berisiko karena tidak menciptakan nilai tambah,” tambahnya.
Dari sisi pemerintah, Tauhid menilai kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi pekerja berpenghasilan di bawah Rp10 juta sebagai langkah baik, meski sifatnya masih sementara.
“Program itu bagus, tapi seharusnya kebijakan permanen, seperti pengurangan pajak dan kenaikan upah minimum,” ucapnya.
Menurutnya, solusi paling efektif untuk menjaga daya beli kelas menengah bukan hanya lewat insentif pajak. Namun, dengan menaikkan upah minimum pekerja (UMP) dan menjaga agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
“Peningkatan pendapatan itu yang paling berkelanjutan. UMP harus naik, tapi pemerintah juga harus memastikan lapangan kerja baru tetap tersedia,” kata dia.
Tips Cara Lepas Jeratan Utang
Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira memberikan tips praktis agar kelas menengah bisa lepas dari tekanan utang dan cicilan. Ia menyarankan penerapan prinsip “dua plus tiga” dalam pengelolaan keuangan pribadi.
“Dua itu, batasi pengeluaran yang tidak perlu dan hindari jebakan paylater serta pinjaman online. Tiga, menabung untuk kebutuhan sekunder, cari penghasilan tambahan, dan sewa rumah lebih baik daripada memaksakan KPR,” ujar dia.
Dari sisi kebijakan, Bhima juga menilai pemerintah perlu membantu menurunkan beban ekonomi kelas menengah dengan menaikkan upah dan mengurangi pajak.
“Menaikkan UMP di atas 10%, menaikkan PTKP di atas Rp7 juta per bulan dan menurunkan PPN dari 11% menjadi 8% akan sangat membantu,” ujarnya.
Para ekonom berharap kelas menengah dapat keluar dari tekanan finansial yang semakin berat dari langkah-langkah tersebut. Sekaligus mendorong konsumsi domestik agar ekonomi nasional tetap tumbuh stabil.