
Mahasiswa Program Doktoral Ekonomi Syariah.
TAHUN 2025 menjadi momentum penting bagi arah pembangunan ekonomi Indonesia. Pemerintah menargetkan penguatan ekonomi digital sebagai salah satu pilar utama pertumbuhan nasional. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, digitalisasi sektor riil, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dipandang sebagai kunci untuk menciptakan pertumbuhan inklusif.
Namun, di tengah semangat itu, muncul realitas yang tak bisa diabaikan: sebagian besar pelaku UMKM masih berada di luar arus utama ekonomi digital. Padahal, nilai transaksi e-commerce nasional terus menanjak, mencapai Rp487 triliun pada tahun 2024, menjadikan Indonesia sebagai pasar digital terbesar di Asia Tenggara. Pertanyaannya: apakah ekonomi digital ini benar-benar membawa kesejahteraan bagi seluruh pelaku usaha, atau justru menciptakan kesenjangan baru antara mereka yang melek digital dan yang tertinggal?
E-commerce telah mengubah wajah perdagangan global. Konsumen kini terbiasa membeli produk lewat ponsel, menonton ulasan melalui video pendek, dan menyelesaikan pembayaran dalam hitungan detik. Namun, tidak semua pelaku UMKM mampu menyesuaikan diri dengan kecepatan perubahan tersebut.
Keterbatasan literasi digital, akses infrastruktur, dan modal teknologi membuat banyak pelaku usaha kecil masih bertumpu pada cara konvensional.
Akibatnya, peluang besar yang ditawarkan ekonomi digital belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan.Padahal, UMKM menyumbang 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan 97 persen terhadap total lapangan kerja nasional. Jika kelompok sebesar ini tertinggal dalam transformasi digital, Indonesia berisiko menghadapi jurang ekonomi digital yang semakin melebar antara mereka yang terkoneksi dan mereka yang tidak.
Tren digitalisasi perdagangan kini berkembang semakin kompleks. Salah satu fenomena yang menonjol adalah social commerce, integrasi antara media sosial dan transaksi daring. Platform seperti TikTok, Instagram, dan Facebook tidak lagi sekadar menjadi ruang ekspresi, tetapi juga etalase produk dan sarana interaksi antara penjual dan pembeli.
Adaptasi Teknologi
Konsumen kini membeli bukan hanya karena kebutuhan, tetapi juga karena rekomendasi sosial, ulasan teman, atau pengaruh influencer. Model interaksi ini menciptakan bentuk pemasaran baru yang lebih personal dan dinamis.Sementara itu, quick commerce (q-commerce) memperkenalkan konsep kecepatan sebagai nilai utama. Pengiriman barang dalam waktu kurang dari dua jam menjadi standar baru layanan digital, terutama di wilayah perkotaan. Dua tren ini social commerce dan quick commerce menunjukkan bahwa masa depan perdagangan digital tidak lagi sekadar soal produk, tetapi tentang pengalaman, kecepatan, dan kedekatan emosional antara merek dan konsumen.
Namun, inovasi ini juga menghadirkan tantangan serius. Tidak semua UMKM memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan teknologi baru, apalagi bersaing dengan pemain besar yang memiliki sumber daya lebih kuat. Di sinilah peran kebijakan publik dan ekosistem digital menjadi sangat penting.
Untuk memastikan ekonomi digital benar-benar inklusif, diperlukan langkah strategis yang melibatkan pemerintah, pelaku usaha, dan sektor pendidikan.
Pertama, literasi digital berbasis komunitas. Pelatihan digital harus menyentuh lapisan terbawah: pedagang pasar, pengrajin, petani, dan pelaku usaha rumahan. Program pemerintah seperti Gerakan Nasional Literasi Digital perlu diperluas agar lebih praktis dan berorientasi pada kebutuhan bisnis nyata.
Kedua, pemerataan infrastruktur digital. Akses internet cepat harus menjadi kebutuhan dasar, bukan kemewahan. Pemerataan konektivitas di luar Jawa akan membuka potensi ekonomi daerah yang selama ini terisolasi.
Ketiga, kemitraan berkeadilan dengan platform digital. Marketplace besar seperti Tokopedia, Shopee, dan TikTok Shop perlu memberikan ruang promosi yang seimbang bagi produk lokal dan pelaku UMKM. Regulasi juga harus memastikan ekosistem digital tidak hanya menguntungkan pemain besar, melainkan memperkuat ekonomi rakyat.
Tantangan Digital
Transformasi digital bukan hanya tentang penggunaan teknologi, tetapi tentang perubahan cara berpikir. Pelaku UMKM perlu berpindah dari sekadar menjual produk menuju membangun nilai, merek, dan pengalaman pelanggan.
Penerapan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), analitik data, dan strategi pemasaran berbasis konten bukan lagi hal futuristik, melainkan kebutuhan dasar untuk bersaing di pasar modern. Adaptasi menjadi kunci: di era digital, ukuran keberhasilan tidak ditentukan oleh besar atau kecilnya usaha, melainkan oleh kecepatan beradaptasi terhadap perubahan.
Jika literasi, infrastruktur, dan kebijakan dapat bergerak seirama, Indonesia memiliki peluang besar menjadi kekuatan utama ekonomi digital di Asia. E-commerce bukan semata kanal transaksi, melainkan gerbang kemandirian ekonomi bangsa tempat di mana kreativitas, inovasi, dan daya saing lokal tumbuh menjadi kekuatan global.
Tentang Penulis:
Amelia Anwar merupakan Dosen dan Managing Editor pada Business and Enterpreneurship Journal (BEJ) di Fakultas Bisnis Universitas Mitra Indonesia, tercatat Saat ini tercatat sebagai Mahasiswa Program Doktoral Ekonomi Syariah pada Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung dan Pengurus ISEI Lampung Bidang Ekonomi dan Keuangan Syariah.








