Pagi itu, 14 Juni 2025, langit di Muara Gading Mas, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur, penuh awan gelap. Angin berderu kencang, menyapu pesisir yang biasanya hangat dan ramah. Waktu menunjukkan pukul 06.30 WIB, saat gelombang setinggi satu meter, diikuti swell, menghantam pesisir. Storm surge mendorong air hingga 50 meter ke daratan, merendam jejeran kios di Pantai Kerang Mas.
Awan gelap juga menggelayut di desa tetangga, Margasari. Angin kencang, dan gelombang laut begitu tinggi, nampak tidak wajar. Dari dalam rumahnya, Hasan memandang gelisah ke tengah laut. Suasana mencekam pagi itu benar-benar momok bagi para nelayan.
Aplikasi Fishing Points di ponsel pintarnya masih terbuka, menginformasikan potensi cuaca buruk akan terjadi. Sedari subuh, Hasan sudah menetapkan hati untuk tidak menjala ikan kembung pagi itu. Namun ia tetap cemas karena ada tetangganya yang telanjur melaut sekitar pukul 05.50 WIB, waktu terbaik berburu gerombolan ikan kembung.
Brakkkk! Suara pohon kelapa tumbang di samping rumah memecah keheningan. “Astagfirullah,” ucap Hasan sambil melongok ke luar menyaksikan gelombang berlapis-lapis setinggi satu meter menerjang daratan. Selama tujuh menit yang sangat menegangkan, hingga akhirnya laut perlahan tenang meninggalkan kenangan tidak terlupakan.
Notifikasi di ponsel Hasan memecah kesunyian yang baru saja pulih. Sebuah pesan masuk ke grup WhatsApp nelayan desa. Matanya membelalak membaca kabar. “Kapal fiber putih tetangga saya terbalik di tengah laut terhantam storm surge,” ceritanya pada awal Oktober 2025.
Grup tersebut mendadak sibuk dengan rencana pencarian secepat-cepatnya. Hasan dan belasan nelayan segera bertolak dengan lima kapal dari muara Sungai Way Penet. Setelah berlayar sejauh sepuluh kilometer mereka menemukan bapak dan dua anaknya dalam kondisi memprihatinkan.
Bapak-anak mengambang, berpegangan pada jeriken kosong. Si bapak menangis. Dua anaknya pucat pasi. Kapal Tirta Kencana yang mereka naiki, hilang terbawa gelombang.
“Ternyata seorang nelayan ulung itu bisa syok. Saat kami temukan bapak itu sedang menangis. Ia menceritakan kengerian tentang gelombang tinggi tanpa mengayun. Begitu muncul ombak tinggi, di belakangnya juga sudah timbul gelombang. Orang sini menyebutnya ombak marga. Sangat berbahaya,” ujar Hasan.
Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas Jaya Bahari Abadi itu menyadari bahwa amukan laut berupa gelombang rapat tanpa jeda itu harus dimitigasi serius. Pasalnya itu adalah bencana kedua setelah storm surge perdana melanda kawasan tersebut pada Juni 2020.
Di pesisir, storm surge menyisakan banjir setinggi lutut orang dewasa. Keadaan itu menghambat geliat ekonomi kampung nelayan. Anak-anak bahkan terkena diare dan gatal-gatal. “Bagi kami, laut seperti ibu yang memberi kehidupan. Tapi ternyata kami harus siap jika laut mengamuk seperti saat itu,” ujarnya.
Gelombang yang mengguncang Kecamatan Labuhan Maringgai itu bukan hanya sebatas cerita lokal, tetapi fenomena yang diurai akademisi. Dosen Teknik Kelautan Institut Teknologi Sumatera (Itera) Muhammad Fatkhurrozi bahkan meriset khusus storm surge di Lampung Timur. “Storm surge bak monster yang tercipta dari angin dan air laut. Angin kencang seperti tangan raksasa yang menarik air laut ke daratan menghempas rumah dan kios,” ujarnya.
Storm surge merupakan kenaikan muka air laut yang diperparah pasang tinggi dengan batimetri dangkal seperti kontur Desa Margasari dan Muara Gading Mas. Kawasan itu berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Fatkhurrozi mengatakan angin timur berkecepatan 12 m/s, dan windrose Juni 76% dari timur dan tenggara. “Ini bukan bencana baru bagi daerah khusus seperti Lampung Timur yang berbatasan dengan laut lepas, tanpa pulau pelindung. Seperti yang terjadi pada Juni 2020,” ujarnya.
Berdasar penelitiannya, storm surge tidak hanya melanda Lampung Timur. Wilayah khusus lain yang juga dilanda adalah pesisir Florida, Amerika Serikat pada 2022. Laut Karibia memberi enerji menciptakan storm surge Florida. Meski di Lampung skalanya lebih kecil, tapi kengerian yang ditinggalkan sama besar.
Perubahan iklim turut mendorong bencana itu terjadi lebih sering. “Storm surge bom waktu yang berdetak. Itu ancaman nyata bagi nelayan yang hidupnya bergantung penuh pada laut,” kata Fatkhurrozi.
Seruan untuk mitigasi storm surge diungkapkan oleh Analis Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung Wahyu Hidayat. Menurutnya, bencana tersebut meningkatkan risiko tenggelam, serta cedera akibat benturan benda terbawa arus. “Badai itu menimbulkan kerugian properti hingga pengungsian,” kata Wahyu.
Selain storm surge, pesisir Lampung Timur juga sangat berpotensi mengalami banjir besar. BPBD Lampung mencatat pada Januari 2025 banjir Lampung Timur. Sebanyak 1.027 jiwa terdampak dan ribuan hektare sawah terendam. “Itu bukti nyata kerentanan pesisir Lampung Timur. Peningkatan kesiapsiagaan masyarakat menjadi kunci,” ujarnya.
BPBD telah melakukan mitigasi non-struktural berupa sosialisasi desa rawan bencana. Warga pesisir Lampung Timur menjadi sasaran kegiatan komunikasi informasi edukasi (KIE) sebagai upaya meningkatkan kecakapan antisipasi bencana.
Dalam program tersebut, digelar simulasi untuk membangun efektivitas respon. “Saat sirine berbunyi, warga berlarian ke jalur evakuasi, membawa serta anak dan lansia. Nantinya, jika ombak besar datang, mereka sudah tahu lari ke mana, apa yang bisa dipegang,” kata Wahyu.
Pihaknya juga berupaya mengurangi risiko storm surge yang meliputi pembentukan tim Desa Tangguh Bencana, serta peningkatan literasi masyarakat pesisir. “Warga terlatih ialah ujung tombak, menjadi mata dan telinga yang langsung bergerak saat ada tanda bahaya,” ujarnya. BPBD juga memastikan kesiapan sarana prasarana keselamatan seperti alat peringatan dini dan jalur evakuasi.
Menurut Wahyu, warga pesisir seperti Margasari dan Muara Gading Mas harus mampu menghadapi amukan laut secara tepat, jangan lagi hanya mengandalkan insting. Melalui pelatihan intensif, BPBD menanamkan kecakapan baru bagi pesisir. “BPBD Provinsi Lampung menekankan sistem terpadu tersebut harus didukung oleh solusi hijau sebagai pertahanan paling jitu,” ujarnya.
Dari perjuangan menghalau bencana, Wahyu melihat ada potensi lain dari hijaunya mangrove Lampung Timur. Kawasan itu bisa menjadi destinasi wisata yang mampu menarik pelancong dari berbagai penjuru. “Bayangkan, ada objek rekreasi yang menawarkan keindahan dan pengalaman langsung menanam mangrove bagi wisatawan. Destinasi tersebut akan melahirkan insan-insan penjaga alam,” ujar Wahyu.
Solusi hijau itu mengalir ke laboratorium Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Peneliti Ahli Utama BRIN Dona Octavia, menyebut mangrove Indonesia terbesar di dunia. Membentang seluas 3,11 juta hektare, setara 22 persen ekosistem mangrove global.
“Mangrove di Indonesia adalah anugerah, perisai melawan pemanasan global yang menyerap karbon empat kali lebih kuat dari hutan daratan,” kata Dona. Setiap meter mangrove yang rusak, merenggut perlindungan warga, sekaligus melemahkan perjuangan melawan perubahan iklim.
Menanam Harapan
Dari kehebatan mangrove yang digaungkan Dona, sorotan beralih ke pesisir Purworejo, tempat Samsudin, nelayan dari Kecamatan Pasir Sakti, menyulam baluarti hijau dalam sunyi. Masih membekas di ingatannya dampak storm surge yang mengguncang kampungnya. Tambak dan ratusan rumah terendam, jalan utama tergenang, warga kesulitan mendapatkan air bersih. “Laut pernah mengamuk, dan kami harus introspeksi diri,” ujarnya dengan tangan penuh lumpur, memimpin pemulihan hutan mangrove.

Pria 48 tahun itu mengisahkan pada 2018 hingga 2021 terdapat lahan kritis seluas 120 hektare akibat kematian mangrove. “Hutan mangrove di sini homogen, dominan jenis kayu si api-api yang tumbuhnya harus bersentuhan dengan air laut. Pada kondisi tertentu, tanaman bisa mati sendiri. Inilah yang terus kami rehabilitasi,” ujarnya.
Kesadaran kuat untuk rehabilitasi itu turut dilatari hasil tangkapan udang rebon yang terus merosot. Ketua Kelompok Tani Hutan Mutiara Hijau 1 itu mengaku bahwa kelompoknya hanya mendapat hasil tangkapan 18,5 ton udang rebon per tahun pada saat itu.
Dalam perjalanan mulia rehabilitasi lahan, Samsudin mendapat tawaran kolaborasi bersama PT Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES) pada 2022. Semangatnya melakukan penyelamatan pesisir makin menyala. Bersama PHE OSES, penanaman mangrove berlangsung lebih cepat. Pada Juli 2025, tanaman mangrove pertama hasil kolaborasi tersebut menghasilkan buah.
Dengan wajah semringah, Samsudin menceritakan pengalaman petik perdana sebanyak 5.800 buah mangrove. “Setelah dipetik, buah itu kami semai kembali sebagai persiapan untuk penyulaman lahan satu hektare. Prinsipnya, jika pihak lain saja peduli menjaga laut, apalagi kami yang hidup darinya,” ujarnya.
Melalui kolaborasi itu, ia memprediksi pada November 2026 petik mangrove bisa mencapai 15.000 buah. Jumlah itu bisa menutupi tiga hektare lahan sesuai struktur tanah dan kondisi lahan. Maka pada 2027, Samsudin optimistis seluruh lahan kritis bisa terselamatkan dari hasil semai swadaya itu.
Secara terbuka, ia menyatakan harapan terhadap PHE OSES agar tetap menggulirkan bantuan mangrove hingga 2026. “Tapi, jika pun tidak, Pertamina sudah mengukir sejarah memberi sumber benih mangrove untuk kelangsungan pesisir yang kami semai sehingga tidak perlu membeli bibit seperti sebelumnya,” ujarnya.

Usaha memulihkan mangrove itu memberi hasil nyata. Hutan mulai rimbun meningkatkan kuantitas biota laut. Hasil tangkapan udang rebon di daerahnya terus meningkat. Periode akhir Agustus hingga akhir September 2025, kelompoknya berhasil menjaring 15,6 ton udang rebon. Samsudin menjelaskan dua kelompok lain di desa tersebut yang juga mendapatkan hasil tangkapan melimpah.
Total tangkapan pada bulan September 2025 Desa Purworejo sebanyak 24,7 ton rebon. Sementara beberapa tahun lalu, jumlah tersebut adalah hasil tangkapan desa dalam kurun waktu setahun. “Kami rutin menyampaikan laporan bulanan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan Pusat. Dan sebagai bentuk tanggung jawab, kami juga mengirimkan laporan bulanan konservasi mangrove ke PHE OSES,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Head of Comm Rel & CID PHE OSES Indra Darmawan mengatakan sebagai bagian dari Subholding Upstream Pertamina, pihakya tidak hanya fokus pada keberhasilan operasi migas, tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Konservasi mangrove di Lampung Timur menjadi langkah strategis karena pesisir berperan penting dalam ekosistem.
“Motivasi kami menciptakan keseimbangan antara operasi energi dengan keberlanjutan lingkungan, hingga bermuara pada peningkatkan hidup masyarakat,” ujarnya. Hingga kini, lebih dari 261.000 mangrove telah ditanam di wilayah Ring 1 operasi, meliputi Lampung Timur, Bangka Belitung, Pulau Panjang (Serang–Banten), dan Kepulauan Seribu.
Menurutnya, tantangan pelestarian saat ini adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan penebangan liar atau alih fungsi lahan. Dalam program tersebut PHE OSES berkolaboraso dengan pemerintah daerah, lembaga riset, serta komunitas pesisir. “Kami optimistis dengan edukasi berkelanjutan, pendampingan, dan kolaborasi tantangan ini bisa dihadapi bersama,” kata dia.

Semangat pelestarian mangrove dari Lampung Timur, menggema ke seantero Lampung. Saat membuka acara di Mangrove Cuku Nyinyi, Kabupaten Pesawaran, baru-baru ini, Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela mendengungkan pentingnya membangun ketahanan pesisir sebagai agenda pembangunan jangka panjang.
Ia mengapresiasi kepedulian banyak pihak terhadap lingkungan, termasuk dari kalangan BUMN. Sinergisitas tersebut sejalan dengan visi Lampung Maju Menuju Indonesia Emas melalui peningkatan kualitas lingkungan hidup. “Pembangunan harus harmoni dengan alam. Karena itu, pemerintah mengajak para investor untuk masuk dengan komitmen kuat menjaga ekosistem,” tutup Jihan.








