Jakarta (Lampost.co) — Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil merupakan momentum penting reformasi Polri. Dengan putusan MK tersebut, Polri kembali ke khitahnya sebagai institusi penegak hukum.
Poin Penting:
-
ISESS menilai keputusan MK jadi momentum reformasi Polri.
-
Polri wajib kembali fokus pada tugas penegakan hukum.
-
Pemerintah untuk mencegah ego sektoral selama transisi.
Menurut Bambang, putusan MK itu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menegaskan fungsi Polri untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.
“Putusan MK ini menegaskan Polri harus kembali ke khitahnya sebagai pelindung dan penegak hukum, bukan bagian dari struktur sipil,” ujar Bambang, Kamis, 13 November 2025.
Baca juga:
Perkuat Prinsip Hukum
Bambang juga menjelaskan keputusan MK tersebut memperkuat prinsip hierarki hukum nasional sebagaimana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Putusan MK ini menegaskan prinsip lex superior derogat legi inferiori. Artinya, aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Maka, peraturan kapolri atau bahkan peraturan presiden tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,” katanya.
Ia menambahkan dalam Pasal 31 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan penjelasan peraturan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. “Penjelasan hanya pelengkap, bukan norma hukum. Jika bertentangan dengan batang tubuh, yang berlaku adalah batang tubuhnya,” ujarnya.
Dengan dasar itu, Bambang menegaskan Polri tidak memiliki ruang menunda pelaksanaan putusan MK. Keputusan tersebut wajib segera dijalankan agar tidak menimbulkan konflik hukum dan ketidakpastian administrasi.
Ribuan Polisi Aktif Harus Ditarik
Bambang memperkirakan sedikitnya 4.351 anggota Polri aktif saat ini menempati posisi di berbagai kementerian dan lembaga negara. Mereka harus kembali ke institusi asal sesuai amanat putusan MK.
“Mau tidak mau, seluruh personel Polri yang menjabat di jabatan sipil harus memilih. Apakah mengundurkan diri, pensiun dini, atau beralih status menjadi PNS,” ujar Bambang.
Ia juga menyebut langkah ini menjadi awal reformasi struktural Polri agar lebih fokus pada penegakan hukum, pelayanan publik, dan pemeliharaan keamanan nasional.
Hidari Ego Sektoral
Bambang juga menekankan pentingnya koordinasi lintas lembaga agar proses penarikan berjalan tertib dan tanpa gesekan. “Semua lembaga, termasuk Polri dan kementerian, harus berkoordinasi meski tidak dalam satu struktur,” katanya.
Namun, ia mengingatkan potensi ego sektoral dan ego individu yang bisa muncul saat proses transisi berlangsung. Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan sistem pengawasan untuk mencegah kepentingan kelompok mengganggu pelaksanaan keputusan MK.
“Kalau muncul ego sektoral, pemerintah harus cepat membangun sistem pencegah. Semua lembaga terbentuk untuk kepentingan negara, bukan kelompok,” ujarnya.








