Bandar Lampung (Lampost.co) — Tumpang tindih berbagai regulasi tentang desa dan banyaknya lembaga yang memiliki kewenangan membuat kebutuhan penyatuan aturan semakin mendesak. Isu itu mencuat dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Fakultas Hukum Universitas Lampung, pada Kamis, 20 November 2025.
Akademisi Hukum Tata Negara Unila, Muhtadi, menilai kementerian yang mengurusi desa terlalu banyak. Ia menyebut ada Kementerian Desa, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, hingga Kementerian Keuangan yang masing-masing memiliki aturan berbeda. Kondisi ini, menurutnya, sering menimbulkan tumpang tindih kebijakan.
“Urusan pilkades saja misalnya diatur Kemendagri, sementara urusan pembangunan desa di Kementerian Desa. Karena itu saya merekomendasikan agar DPD mendorong cukup satu kementerian yang mengatur seluruh aspek, mulai dari penataan hingga BUMDes,” kata Muhtadi.
Ia meyakini penyatuan regulasi membuat anggaran lebih efisien. Selama ini, anggaran desa kerap tumpang tindih karena mengikuti aturan berbeda. Selain itu, wacana Omnibus Undang-Undang Desa dinilainya realistis, mengingat banyaknya aturan terkait desa seperti penataan, pemerintahan, pemilihan kepala desa, keuangan, hingga pengangkatan perangkat desa.
“Semua itu bisa terangkum dalam satu regulasi besar. Memang pembahasannya panjang, tetapi selesai dalam satu paket jauh lebih efektif ketimbang tiap tahun membuat perda baru,” ujarnya.
Masa Jabatan
Muhtadi juga menyoroti masa jabatan kepala desa delapan tahun untuk dua periode. Menurutnya, durasi itu terlalu panjang dan bisa menimbulkan masalah ketika kepala desa tidak menjalankan amanah. Ia menambahkan, SDM perangkat desa masih lemah sehingga sulit memahami regulasi yang kompleks.
“Kalau kepala desanya amanah tidak masalah, tetapi kalau enggak, ya tiap tahun bisa terjadi penyimpangan,” katanya.
Sementara itu, perwakilan Biro Hukum Pemprov Lampung, Erman Syarif, menjelaskan adanya empat lingkup kewenangan regulasi desa: kewenangan hak asal-usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan, dan kewenangan lainnya. Ia menegaskan Peraturan Desa (Perdes) menjadi instrumen hukum utama dalam mengatur kewenangan tersebut.
Menurut Erman, partisipasi masyarakat menjadi syarat wajib dalam pembentukan Perdes. Masyarakat berhak memberikan masukan terhadap rancangan peraturan. Selain itu, Perdes strategis seperti APBDes dan tata ruang wajib melalui evaluasi bupati atau wali kota sebelum diundangkan.
“Partisipasi publik kunci akuntabilitas pembangunan desa. Masyarakat berhak memperoleh informasi, mengawasi, dan menyampaikan aspirasi,” ujarnya. Ia menegaskan tujuan akhir UU Desa adalah membangun desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis.
Hasil Evaluasi
Ketua Apdesi Lampung, Suhardi Buyung, menambahkan hasil evaluasi menunjukkan sejumlah masalah krusial. Di antaranya, ketidaksinkronan antara perda dan UU Desa, lemahnya pemahaman aparatur desa soal kewenangan, pengaturan BUMDes yang belum optimal, serta minimnya SDM yang menguasai tata kelola keuangan desa.
“Tantangannya mencakup kesenjangan pemahaman regulasi, minimnya perancang perda yang berkualitas, keterbatasan SDM desa, hingga data desa yang belum mutakhir,” kata Suhardi.
Anggota DPD RI, Ahmad Bastian, menyatakan penyeragaman regulasi desa melalui Omnibus merupakan gagasan yang mengemuka di publik. DPD, menurutnya, harus mengkaji wacana tersebut secara menyeluruh.
“Ini masukan yang baik dan pasti kami pertimbangkan,” ujarnya. Ia mengakui banyak persoalan di desa, mulai dari tumpang tindih aturan hingga keterbatasan kemampuan SDM perangkat desa dan kepala desa. Karena itu, ia menilai kebutuhan pelatihan dan bimbingan teknis harus dimaksimalkan.








