Bandung (Lampost.co): Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (FITB ITB) sekaligus pakar gempa, Irwan Meilano angkat bicara terkait bencana gempa bumi berkekuatan Magnitudo 5,0 mengguncang wilayah Kabupaten Bandung dan sekitarnya pada Rabu, 18 September 2024, pukul 09.41 WIB. Gempa tersebut menyebabkan kerusakan bangunan, terutama di Kecamatan Kertasari dan Pangalengan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa hingga saat ini gempa tersebut diikuti oleh 33 gempa susulan, di mana empat di antaranya getarannya masih dapat dirasakan oleh warga.
Irwan Meilano mengatakan kejadian ini Kembali mengingatkan masyarakat akan risiko gempa di wilayah Jawa Barat yang tidak hanya berasal dari zona megathrust di pantai selatan.
Baca juga: Tokoh Masyarakat hingga Gereja Terlibat Pembebasan Pilot Susi Air di Papua
“Kita seringkali berfokus pada potensi gempa dari zona subduksi di selatan (megathrust). Namun, gempa kali ini mengingatkan kembali bahwa sumber gempa lain juga bisa berasal dari sesar aktif di daratan,” ujarnya melansir dari laman resmi ITB (itb.ac.id), Jumat, 20 September 2024.
Baik gempa yang bersumber dari sesar maupun megathrust sama-sama merupakan hasil dari proses pergeseran tektonik yang ada di cincin api Indonesia.
Meskipun magnitudo gempa dari sesar aktif ini biasanya lebih kecil bila membandingkan dengan gempa megathrust, Irwan juga menjelaskan bahwa gempa sesar yang jaraknya yang lebih dekat dengan permukaan bisa menyebabkan kerusakan yang sama signifikannya dari kerusakan akibat megathrust.
Selain itu, Irwan pun menjelaskan kemungkinan mengenai adanya berbagai gempa susulan yang terjadi. Menurutnya gempa susulan dapat mengikuti sebuah gempa sebagai pelepasan sisa energi. Oleh karena itu, masyarakat perlu mendapat imbauan agar tetap waspada.
“Sebuah gempa pasti ada gempa susulannya. Hal ini mengindikasikan gempa melepaskan energi satu kali saja. Sisa energinya dilepaskan dalam energi susulan,” jelasnya.
Urgensi
Dalam konteks mitigasi bencana gempa bumi, Irwan menggarisbawahi urgensi kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Pendekatan yang terintegrasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas, oleh Irwan Meilano nilai krusial dalam meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi risiko gempa yang ada.
“Karena kalau masyarakat bergerak sendiri, hasilnya tidak akan optimal,” kata Irwan.
Menurutnya, salah satu langkah yang paling utama adalah meningkatkan pemahaman tentang risiko gempa melalui peta kajian risiko yang lebih mendalam. Perlu adanya pembuatan peta risiko bencana yang lebih detail. Lalu menjadikannya acuan dalam perencanaan pembangunan, terutama untuk kebijakan tata ruang. Baik dari segi infrastruktur, pemilihan lokasi dan jalur evakuasi yang mempertimbangkan risiko gempa di suatu wilayah.
Selain itu, Irwan Meilano juga menekankan perlunya peningkatan literasi bencana bagi masyarakat, baik melalui jalan formal seperti pengadaan kurikulum, maupun jalur informal melalui komunitas.
“Saya percaya bangsa Indonesia punya modal untuk itu (mitigasi bersama), salah satunya dengan budaya kita gotong royong. Kita harus menanamkan bahwa dengan kemampuan yang kita miliki, dengan bersama-sama kita bisa melakukan upaya pengurangan resiko bencana,” pungkasnya.
Ikuti terus berita dan artikel Lampost.co lainnya di Google News