Jakarta (Lampost.co)— Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyoroti bahwa kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) bukan hanya masalah internal perusahaan.
Melainkan juga mencerminkan kesulitan yang industri garmen hadapi secara keseluruhan di Indonesia. Sritex, perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, di nyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang dengan total utang mencapai Rp24 triliun.
Menurut Achmad, kepailitan Sritex adalah puncak dari berbagai masalah yang telah lama menumpuk. Selain beban utang yang besar, perusahaan juga sangat bergantung pada permintaan global dan terkena dampak dari kenaikan upah minimum, yang pada akhirnya membuat Sritex tidak bisa bertahan.
Ia juga menjelaskan industri garmen Indonesia telah berada di bawah tekanan dalam beberapa tahun terakhir.
Terutama karena ketergantungan pada pasar ekspor dan gangguan rantai pasok global yang penyebabnya oleh berbagai faktor eksternal. “Termasuk perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta meningkatnya biaya produksi di dalam negeri,” kata Achmad.
Achmad menekankan bahwa ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat kepailitan Sritex tidak hanya akan berdampak pada daya beli mereka.
Tetapi juga mengancam stabilitas sosial di daerah-daerah industri yang sangat bergantung pada perusahaan tekstil besar.
Lebih jauh, mayoritas pekerja di sektor garmen adalah perempuan, sehingga kehilangan pekerjaan dalam jumlah besar ini dapat memperburuk kesenjangan gender dan meningkatkan tingkat kemiskinan perempuan di Indonesia.
Achmad juga menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto, yang baru terpilih, menghadapi tantangan besar untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial. “Terutama dalam menangani dampak krisis di sektor garmen,” ucapnya.
Ia menyarankan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk meredam dampak buruk dari gelombang PHK di industri tekstil dan garmen ini.








