Bandar Lampung (Lampost.co) — Jalannya pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 27 November 2024 tak lepas dari adanya dugaan peran pemodal, atau bohir. Mereka yang biasa membantu kampanye atau pendanaan para kandidat pasangan calon (paslon) berlaga merebut simpati masyarakat.
Namun, menurut Ketua KPU Provinsi Lampung, Erwan Bustami. Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Tidak mengenal adanya istilah bohir, melainkan sumbangan.
Kemudian ia mengatakan, dalam pasal 74 ayat (1) undang-undang nomor 10 tahun 2016. Dana Kampanye pasangan calon dari partai politik atau gabungan partai politik bisa berasal dari sumbangan partai politik dan/atau gabungan partai politik. Sumbangan pasangan calon; dan/atau dan sumbangan pihak lain yang tidak mengikat. Meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta.
Baca Juga :
https://lampost.co/lamban-pilkada/bohir-pilkada-sumbang-ratusan-miliar-di-pilkada/
Lalu dalam pasal 74 ayat (5) sumbangan dana kampanye dari perseorangan paling banyak Rp. 75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp. 750 juta. “Dana kampanye mengatur dalam pasal 74 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016,”ujar Erwan Bustami, Kamis, 7 November 2024.
Selanjutnya Erwan, mengatakan saat ini paslon gubernur dan wakil gubernur Lampung sudah menyampaikan laporan awal dana kampanye (LADK) pada 23 September 2024. Kemudian, laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) pada 24 Oktober 202 yang lalu. Nantinya, paslon juga akan menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK). “Nantinya kantor akuntan publik akan mengaudit LPPDK,” katanya.
Pengawasan
Sementara, itu Bawaslu Provinsi Lampung melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana kampanye. Mulai dari laporan awal, laporan penerima sumbangan, laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Dengan pemantauan kampanye lapangan. “Kami awasi, dan harus sesuai dengan regulasi. Nanti juga akan ada audit dari akuntan publik,” kata Koordinator Divisi (Kordiv) Penanganan Pelanggaran Bawaslu Lampung, Tamri Suhaimi.
Kemudian Akademisi Politik dan Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Lampung, Candrawansah menyebut. Bohir politik, atau pihak yang mendanai kampanye politik memiliki tujuan mendapatkan keuntungan tertentu. Biasanya setelah kandidat terpilih. Hal itu bisa merusak sistem politik. Karena kepentingan pribadi dari pemberi dana. Bohir biasanya memiliki kepentingan bisnis atau politik tertentu.
Akibatnya, ketika kandidat yang mereka dukung terpilih. Ada kecenderungan untuk memberikan prioritas pada kepentingan bohir daripada masyarakat umum. Ini dapat mengarah pada kebijakan yang tidak adil dan korupsi.
Kemudian pengaruh uang dalam keputusan politik. Dengan modal besar, bohir bisa “membeli” pengaruh dalam pengambilan keputusan politik, mengurangi peran aspirasi masyarakat. Kandidat yang bergantung pada dana dari bohir lebih rentan dikendalikan dan menjadi boneka pemberi dana tersebut. Karena tergadaikan oleh asupan dana pastinya.
Selanjutnya, merusak prinsip demokrasi. Kehadiran bohir yang dominan cenderung menciptakan ketidakadilan dalam proses politik. Kandidat yang memiliki nilai dan integritas, tetapi tanpa dukungan finansial besar, seringkali kesulitan bersaing. Ini mengakibatkan demokrasi menjadi tidak murni. Karena rakyat terpaksa memilih kandidat yang dikuasai elit.
“Menurut saya adalah bahwa bohir politik pasti akan menciptakan money politik yang merajalela. Karenakan dana sudah mencukupi dari bohir dan calon tinggal mencari pendistribusi. Serta masyarakat pemilih sebagai sasaran,”ujarnya.
Oleh sebab itu ketidakadilan dalam berpolitik pasti akan terjadi. Apabila lawan politik lainnya yang tidak mempunyai bohir politik. Pasti akan kalah dengan calon yang mempunyai bohir politik yang pendanaan tidak terbatas. “Bagaimana dengan Lampung.? Menurut saya masih ada bohir politik dan tentunya hal itu sangat terasa. Wabil khusus Pilkada tahun 2019 dan 2020 sangat kerasa dalam pertarungan bohir politik,” katanya.
UU 10/2016
Kemudian Candra mengatakan, bohir politik memang susah dibuktikan. Karena kondisi perundang-undangan dan aturan yang memiliki celah. Padahal dalam aturan UU 10 Tahun 2016 pasal 74 angka ke (5). Sumbangan dana kampanye dari perseorangan paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). Dari badan hukum swasta paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Jadi batasan bantuan sudah ada maksimalnya dan tentunya jelas siapa penyumbangnya.
“Akan tetapi terkendala dengan aliran dana pada rekening dana kampanye berupa siapa yang menyumbang dan tergunakan untuk apa sumbangan. Seharusnya tergambarkan dengan melihat pada rekening dana kampanye tersebut dan nanti akan terlaporkan oleh calon berupa laporan dana kampanye. Akan tetapi bantuan sangat jarang melalui rekening formal calon. Apalagi yang akan tergunakan sebagai pelaporan kepada KPU tersebut. Sehingga keterlibatan bohir politik susah untuk pembuktiannya. Walapun aturan sudah mengatur plus dengan adanya unsur pidana apabila melebihi bantuan yang telah tertetapkan,” katanya.
Kemudian dalam UU 10 tahun 2016 pasal 187 angka ke (5) menyebutkan bahwa. Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas sesuai dalam Pasal 74 ayat (5). Bisa terpidana, dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
“Terakhir bahwa memang ada kelemahan sistem kita dalam menerapkan unsur pidana kepada bohir politik. Dan tentu efek jera agar menghilangkan bohir politik. Apalagi yang membelenggu kepala daerah dalam membangun wilayah,” katanya.