Jakarta (Lampost.co) – Masyarakat Indonesia semakin khawatir dengan kondisi ekonomi dan ketersediaan lapangan kerja sehingga sulit cari kerja dalam beberapa bulan mendatang.
Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) dan Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja yang Bank Indonesia (BI) rilis menunjukkan tren negatif.
Hal itu menegaskan kondisi ekonomi Tanah Air sedang menghadapi tekanan berat. Survei BI itu mencatat IKK turun menjadi 121,1 pada Oktober 2024, angka terendah sejak Desember 2022.
Meski masih di atas 100 yang menunjukkan area optimis, tren penurunan mengindikasikan memburuknya kepercayaan konsumen terhadap ekonomi. Sementara, Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja untuk enam bulan ke depan juga turun ke level 129,5, terendah sejak Desember 2022.
Artinya, masyarakat tidak melihat ada perbaikan signifikan hingga pasca-Lebaran 2025 yang jatuh pada akhir Maret. Penurunan itu paling tajam terjadi pada kelompok pendidikan akademi, yang juga menunjukkan lemahnya kondisi tenaga kerja, terutama di sektor manufaktur.
Selain tanda-tanda tersebut, terdapat sederet gejala yang mengkhawatirkan masyarakat kesulitan mencari kerja, yaitu:
Lonjakan PHK
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat peningkatan jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang signifikan. Dari Januari hingga Oktober 2024, terdapat 59.796 pekerja terkena PHK, naik 31,2% daripada periode yang sama pada 2023 (45.576 pekerja).
“Jumlah PHK meningkat 25.000 orang dalam tiga bulan terakhir saja,” kata Yassierli, perwakilan Kemnaker.
PHK terbanyak terjadi di:
– DKI Jakarta: 14.501 pekerja
– Jawa Tengah: 11.252 pekerja
– Banten: 10.254 pekerja
PMI Manufaktur Terpuruk
Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia sebagai indikator kondisi bisnis sektor barang mencatat kontraksi selama empat bulan berturut-turut. Menurut laporan S&P Global, PMI Oktober 2024 berada di angka 49,2, yang berada di bawah ambang batas ekspansi 50.
Kondisi itu mencerminkan penurunan output, pesanan baru dan penyerapan tenaga kerja akibat melemahnya konsumsi dalam negeri. PMI Manufaktur sebelumnya mencatat:
– Juli: 49,3
– Agustus: 48,9
– September: 49,2
Lesunya manufaktur mengindikasikan kondisi pasar tenaga kerja yang melemah. Hal itu sejalan dengan indikator lainnya yang menunjukkan lemahnya permintaan domestik dan internasional.
Puluhan Pabrik Tekstil Tutup
Krisis juga melanda sektor tekstil sebagai industri padat karya. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengatakan 30 pabrik tekstil tutup dalam dua tahun terakhir.
Termasuk perusahaan BUMN PT Primissima yang baru-baru ini menghentikan produksi. “Industri tekstil sangat terdampak, bahkan banyak yang tidak melapor,” kata Redma.
Penutupan itu makin menambah tekanan pada lapangan kerja, terutama di sektor manufaktur yang menghadapi banyak tantangan.
Kondisi Ekonomi Menuju 2025
Data survei dan indikator ekonomi yang memburuk membuat masyarakat Indonesia menghadapi ketidakpastian besar hingga Lebaran 2025.
Penurunan konsumsi, lonjakan PHK, kontraksi manufaktur, serta penutupan pabrik tekstil menjadi sinyal langkah konkret dari pemerintah dan sektor swasta sangat perlu untuk memulihkan kepercayaan dan stabilitas ekonomi.