Jakarta (Lampost.co) – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan hapus ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold 20 persen. Hal tersebut tertuang dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Merespons itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin, menyebut pihaknya menghormati putusan MK. “Kita menghormati putusan MK,” ungkap Afifuddin.
Sementara itu, Komisioner KPU RI, Idham Holik meyakini bahwa pembentuk UU. Dalam hal ini DPR memahami bahwa namanya putusan konstitusi bersifat erga omnes atau final dan mengikat.
“Sesuai dengan penjelasan Pasal 10 ayat 1 UU 8 Tahun 2015 dan informasi bahwa tahun 2025. Pembentuk UU itu akan melakukan pembahasan UU pemilu yang teragendakan dalam legislasi nasional,” tutur Idham.
Kemudian Idham berpendapat sebagaimana tradisi legal drafting UU di DPR memiliki prinsip terbuka dan partisipatif. “Kami meyakini dalam pembahasan UU Pemilu. KPU akan terlibatkan untuk mendiskusikan,” tambahnya.
Bawaslu
Selanjutnya, anggota Bawaslu RI, Puadi mengatakan Bawaslu menghormati Putusan MK. Penghapusan presidential threshold akan menuntut Bawaslu untuk beradaptasi dengan tantangan baru. Dan memperkuat perannya dalam memastikan pemilu yang jujur, adil, dan demokratis.
“Penghapusan ketentuan presidential threshold 20% oleh MK. Merupakan langkah yang dapat membawa perubahan signifikan dalam dinamika politik dan sistem demokrasi di Indonesia,” tutur Puadi.
“Keputusan ini membuka peluang bagi lebih banyak partai politik dan kandidat potensial untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden. Sehingga memperluas pilihan bagi rakyat dan meningkatkan inklusivitas politik,” tambahnya.
Lalu secara substantif, lanjut Puadi, kebijakan ini juga dapat mendorong kompetisi yang lebih sehat dalam pemilu. Namun, Puadi menilai perubahan ini juga menghadirkan tantangan baru. Seperti potensi fragmentasi politik dan polarisasi yang lebih tajam. Apalagi mengingat jumlah kandidat yang lebih banyak bisa memecah suara rakyat.
“Langkah ke depan, penting bagi pemerintah dan penyelenggara pemilu. Terlebih untuk memastikan mekanisme pemilu yang tetap adil, efisien, dan mampu menjaga stabilitas politik. Sambil memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat kualitas demokrasi Indonesia,” katanya.