HANYA keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali. Demikian salah satu petuah yang kerap terucap oleh orang tua dulu. Makna penting petuah ini ialah berhati-hati, jangan sampai melakukan kesalahan yang sama, apa pun itu, sampai berkali-kali. Makna lainnya adalah harus benar-benar mengambil hikmah dan pelajaran penting dari kesalahan sebelumnya.
Namun memang, harus jujur diakui dalam menghadapi pandemi Covid-19 pepatah ini bisa dibilang tidak laku. Nyatanya dalam 2,5 tahun hidup bersama virus corona, negeri ini mengalami gelombang puncak pandemi tidak hanya sekali, bahkan sudah lebih dari dua kali. Selip-selip, beberapa pekan ke depan akan menghadapi gelombang ke empat pandemi Covid-19.
Ngeri-ngeri sedap memang. Apalagi jika diintip data kasus Covid-19 sepanjang Juli yang baru lewat. Pada bulan ini rerata tambahan kasus harian terus menanjak dari pekan ke pekan. Pada pekan pertama angka konfirmasi positif di kisaran seribu, pekan kedua naik dua ribu. Pekan ketiga naik lagi menjadi tiga ribu. Pada pekan terakhir Juli kasus Covid sudah di kisaran empat ribu kasus.
Kalau ditotal selama Juli tambahan kasus secara nasional tembus 100 ribu kasus baru. Menilik lagi data Kementerian Kesehatan lebih dalam terdapat tiga hari pada Juli dengan tambahan kasus mengkhawatirkan, yakni 26 Juli dengan 6.483 kasus baru, 27 Juli dengan 6.438 kasus baru, dan 28 Juli dengan 6.353 kasus baru. Kalau dalam gambaran sebuah kurva, Juli merupakan lerengnya.
Ahli epidemiologi berhipotesis data Covid-19 yang nampak pada Juli itu merupakan fenomena gunung es. Itu artinya, data yang tampak hanyalah gambaran puncak dari gunung es-nya saja yang menyembul di permukaan laut. Bagian gunung yang lebih besar masih tersembunyi di bawah permukaan laut. Dengan kata lain, data Covid-19 sesungguhnya bisa jadi jauh lebih besar.
Hipotesis ini bisa jadi benar. Sebab, kalau dilihat kondisi masyarakat sekarang sudah jengah dengan pandemi, terutama sejak berakhirnya gelombang ketiga pada medio Februari lalu. Pada fase gelombang ketiga memang pucak kasus harian jauh lebih tinggi dari dua gelombang sebelumnya, namun daya rusaknya tidak separah pada gelombang kedua pada Juli 2021 lalu.
Karena ancaman omikron tidak separah dan situasinya juga tidak sedramatis kala delta melanda, masyarakat mulai menganggap remeh Covid. “Toh gejalanya sudah tidak parah-parah amat.” Bisa jadi mereka berpikir seperti itu. Karena itu pula, mereka yang terinfeksi tidak lantas berobat, apalagi menjalani testing. Itu mengapa konfirmasi positif bisa jadi tidak sesuai dengan kenyataan.
Para pakar kesehatan memprediksi dan bahkan menyatakan sebenarnya sudah masuk fase gelombang keempat Covid-19. Namun, menurut pakar, efek gelombang kali ini tidak akan separah tiga gelombang sebelumnya. Sebab, pada periode ini kondisi masyarakat sudah jauh lebih siap, terutama dari sisi imunitas, di mana cakupan vaksinasi dosis I dan II sudah di atas 70%.
Namun demikian, ada juga pakar kesehatan, terutama dari kalangan dokter anak, yang menyatakan kewaspadaan tetap harus dikedepankan dalam menghadapi gelombang keempat ini. Masyarakat tidak boleh jemawa dengan adanya vaksinasi. Terlebih, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), varian baru Covid-19 berpotensi memiliki efek peradangan cukup serius pada kalangan anak-anak.
***
Anak-anak bangsa tidak boleh menganggap remeh peringatan pakar kesehatan akan potensi datangnya gelombang keempat dan seterusnya. Terlebih lagi Covid-19 terus menerus bermutasi. Fenomena lonjakan kasus Covid-19 pada periode Juli lalu baik secara global maupun nasional ditunggangi subvarian baru Covid-19 omikron. Bermutasi sudah merupakan fitrah atau naluri alamiah virus untuk bertahan hidup.
Apalagi kala kisah varian omikron BA.4 dan BA.5 usai, kini para ahli telah menemukan subvarian omikron terbaru yang beranak pinak memicu kekhawatiran, yaitu BA.2.75 disebut centaurus sebagai ancaman terbaru. Menurut WHO, ini patut diwaspadai. Subvarian itu pertama kali dilaporkan di India dan telah menyebar ke sekitar 10 negara termasuk Inggris, Selandia Baru, Australia, Kanada, dan AS.
Centaurus disebut-sebut lebih menular dan mampu menginfeksi seseorang yang pernah terinfeksi Covid-19 dan menurunkan respons antibodi. Jika hipotesis ini benar adanya, situasinya bisa saja kembali menjadi menyulitkan bagi kita semua. Sebab, jika ini terjadi, vaksinasi dosis lengkap yang sudah dilakukan bisa dikatakan akan menjadi kurang efektif menghadapi varian baru tersebut.
Sebab itu, kita pun tidak boleh kalah ngeyel ketimbang virus. Jika virus saja demikian alot dibasmi, kita pun semestinya berlaku demikian. Untuk bertahan, bila perlu harus lebih alot lagi terhadap virus. Lebih alot tentu artinya lebih imun. Agar lebih imun maka kebutuhan akan vaksinasi menjadi keniscayaan. Namun celakanya, vaksinasi yang dilakukan belakangan mengendur.
Coba tengok saja capaian vaksinasi dosis kedua secara nasional, kalau diamati angkanya mandek di kisaran 80%. Untuk vaksinasi dosis ketiga atau booster capaiannya lebih menyedihkan lagi yakni baru di kisaran 27%, bahkan untuk Lampung saja angka vaksinasi lanjutan ini baru di kisaran 15%. Upaya percepatan vaksinasi semestinya menjadi obat mujarab menghadapi gelombang keempat.
Pemerintah Pusat dan daerah tampaknya harus lebih berkeringat untuk menggenjot vaksinasi lanjutan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya vaksinasi harus kembali dikobarkan. Terlebih, hakikat utama vaksinasi ini adalah membentuk kekebalan kelompok bukan sekadar kekebalan individu semata. Vaksinasi ini bukan soal untuk kepentingan aku atau kamu saja melainkan kita.
***
Kekebalan komunal adalah kepentingan kita bersama. Karena itu pula, butuh konsistensi bersama untuk mencapainya. Upaya satu orang, atau segelintir orang saja tidak akan cukup bahkan akan menjadi sia-sia belaka. Karena itu, butuh perjuangan kolektif, konsistensi dalam penerapan protokol kesehatan juga percepatan vaksinasi yang bersifat kolektif alias gotong-royong.
Terlebih dampak yang disebabkan dari Covid-19 itu tidak hanya bersifat individual. Infeksi virusnya memang bersifat personal, namun karena skalanya sudah masuk kategori pandemi, dampaknya juga komunal atau kolektif. Contohnya adalah krisis ekonomi yang dirasakan saat ini adalah dampak kolektif yang mesti dirasakan akibat pandemi Covid-19 yang berlangsung panjang.
Maka harus pula secara kolektif kembali berdisiplin protokol kesehatan dan mengikuti vaksin lanjutan. Harus pula diakui bahwa ini hanyalah imbauan. Namun rasa-rasanya perlu menjadi perhatian serius agar gelombang keempat—virus tidak membabi buta. Hanya satu tekad, mengantisipasi lebih utama daripada mengobati. Menghadapi gelombang keempat adalah penting. Bukankah guru terbaik menghadapi pandemi adalah pengalaman?
Mungkin karena belajar dari pengalaman itu pula Kementerian Kesehatan pada pekan terakhir Juli lalu mulai menjalankan program vaksinasi dosis keempat bagi tenaga kesehatan. Faktanya, memang lebih dari dua ribu nakes gugur dalam pertempuran bangsa ini menghadapi agresi virus corona. Kita tentu tidak ingin jumlah putra-putri terbaik bangsa itu kembali bergugur karena Covid-19 terus meluas.
Dalam menghadapi pandemi, para nakes merupakan pasukan tempur garis depan. Karena peran mereka itu pula, risiko yang mereka hadapi sudah barang tentu jauh lebih besar dari yang lain. Maka imunitas mereka tentu harus menjadi prioritas. Dengan demikian, jika gelombang keempat benar-benar datang, dan puncaknya lebih dahsyat dari gelombang sebelumnya, negeri ini sudah lebih siap. *
Sri Agustina