NGOBROL dengan para ibu memang banyak informasi yang kadang tak terduga. Suatu sore saya berbincang dengan rekan para ibu yang sedang asyik berdiskusi.
Menjelang Pemilu 2019, para ibu di kompleks anu bercerita kalau mereka diundang dalam taklim plus ada tamu undangan khusus. Tak ada yang kenal si tamu itu, kecuali panitia penyelenggara.
Rupanya si tamu, sebut saja si A, adalah salah satu calon anggota legislatif yang hendak mencalonkan diri dalam pesta demokrasi. Selain bersilaturahmi, si A memohon dukungan dari ibu kompleks. Sebagai tali asih, diberikan suvenir berupa kerudung serta sekadar uang transport dalam amplop. “Ini bukan uang serangan ya, tapi ini uang transport,” kata Ibu Lala, menirukan perkataan si tamu tadi yang langsung membagikan amplop ke warga.
Lain waktu, ada lagi tamu lain, sebut saja si B yang tujuannya sama dengan si A tadi: silaturahmi dan mohon dukungannya. Sebagai imbalannya, dapat suvenir centong serta peralatan masak bergambar si tamu tadi plus uang transportasi.
“Wah, pokoknya saya sudah tiga kali kedatangan tamu baik. Kalau kata orang sih serangan, tapi mereka sebutnya sosialisasi,” terang Ibu Lala.
Ibu Ila menimpali kalau di perkampungannya yang berbatasan dengan Bandar Lampung itu juga banyak didatangi tamu seperti cerita Ibu Lala. “Dapat dana transportasi lewat panitia sih, entah apakah sudah dipotong atau utuh, ya kami terima sajalah,” terang ibu dua anak itu.
Saya yang ikut mendengarkan cerita mereka jadi terusik untuk ikut nimbrung. “Wah, kok di tempat saya enggak ada sih serangan atau undangan silaturahmi seperti itu? Mau jugalah saya seperti itu,” ucap saya.
Ibu Lala menyahut. “Lah, emang situ ikutan memilih, tah? Bukannya tidur terus kalau ada pemilihan? Lagi pula kan masing-masing tamu itu beda lo wilayahnya,” ucap dia.
Sambil nyengir saya bilang, “Menerima seperti itu ngeri-ngeri sedap, lo. Apalagi kan sekarang ini ada berita amplop serangan fajar salah satu caleg di Jawa lagi ditangani KPK. Nah, kalau ketahuan, bagaimana hayo?”
Para ibu tadi terdiam sejenak lalu berkilah. “Kita kan dikasih, enggak minta. Lagian kalau sampe ditangkap, ya orang sekampung ini terima juga. Bisa-bisa penjaranya penuh, deh!” katanya sambil tertawa.
Ya, demokrasi kita memang masih berada di tengah-tengah dari kata ideal. Meskipun sudah lebih maju dari zaman Orde Baru, trik-trik lama seperti politik uang dengan serangan fajar masih banyak terjadi. Bahkan, banyak masyarakat yang menantikannya. Mereka menyebut ketimbang tak dapat apa-apa, toh aspirasi mereka pun tak pernah direalisasikan oleh mereka yang titipkan amanah suara.
Memang belajar dan melek demokrasi sejatinya membutuhkan proses dan waktu yang tak sebentar. Semoga pesta demokrasi yang tinggal hitungan hari ini bisa berjalan lancar, aman, dan damai.
Sri Agustina, Wartawan Lampung Post