Denpasar (Lampost.co)–Jenazah pendaki asal Brasil, Juliana Marins (27), yang ditemukan tewas di jurang Gunung Rinjani, Lombok, telah tiba di Denpasar, Bali, Rabu pagi 25 Juni 2025. Jenazah langsung evakuasi ke Rumah Sakit Bhayangkara Denpasar untuk proses autopsi.
Poin Penting:
- Pendaki asal Brasil Juliana Marins jatuh di Gunung Rinjani
- Evakuasi memakan waktu empat hari untuk menemukan korban
- Autopsi jenajah untuk memastikan kematian Juliana Marins
Autopsi ini diminta langsung oleh keluarga korban untuk memastikan waktu dan penyebab kematian Juliana, mengingat ia sempat terlihat masih hidup melalui rekaman drone beberapa hari setelah terjatuh.
“Kami akan melakukan autopsi sesuai dengan prosedur dan permintaan keluarga. Hasilnya akan disampaikan secara resmi setelah proses selesai,” ujar Kepala RS Bhayangkara Denpasar.
Baca Juga: Seorang Pendaki Meninggal saat Mendaki Gunung Tertinggi di Lampung
Sementara itu, pihak Kedutaan Besar Brasil di Jakarta tengah mempersiapkan dokumen untuk repatriasi jenazah.
keluarga Juliana masih berharap pemerintah Brasil dapat memperbaiki kebijakan soal pembiayaan evakuasi WN yang meninggal di luar negeri. Kematian tragis ini membuka mata banyak pihak akan pentingnya jaminan keselamatan wisatawan, tidak hanya dalam promosi pariwisata, tetapi juga dalam tindakan nyata saat terjadi musibah.
Semantara itu, mantan pemain sepak bola Brasil Alexandre Pato akan menanggung seluruh biaya pemulangan.
Tak Tertolong Selama Empat Hari
Gunung Rinjani, simbol keindahan alam Indonesia, berubah menjadi tempat duka bagi keluarga Juliana Marins. Dalam video drone yang kini viral di media sosial, perempuan muda asal Brasil itu terlihat terbaring di dasar jurang, masih bernapas, namun tanpa bantuan berarti selama empat hari.
Banyak yang bertanya mengapa proses penyelamatan begitu lambat?
Kepala Kantor SAR Mataram menjelaskan bahwa evakuasi terkendala medan ekstrem dan cuaca yang tidak bersahabat. “Titik lokasi korban sangat curam. Tim kami butuh waktu ekstra untuk menjangkau dengan aman,” ujarnya.
Namun, di mata warga Brasil, penjelasan ini belum cukup. Media seperti Globo dan UOL menyoroti minimnya koordinasi awal dan lambannya tanggapan terhadap informasi visual yang menunjukkan korban masih hidup.
Isu ini juga memunculkan diskusi soal protokol penyelamatan wisatawan asing di lokasi ekstrem di Indonesia. “Ini bukan sekadar tragedi alam, ini tentang kesiapan sistem,” kata seorang aktivis kemanusiaan di Brasil.