Jakarta (Lampost.co): Suhu rata-rata global telah mengalami kenaikan sebanyak 1,64 derajat celsius pada Februari 2024. Angka itu melebihi ambang batas kenaikan suhu bumi, yaitu 1,5 derajat celsius. Seharusnya capaian suhu tersebut bisa pada 2030. Ahli Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Erma Yulihastin mengungkapkan hal tersebut, seperti mengutip Media Indonesia, dalam webinar yang diselenggarakan Institut Teknologi Bandung, Minggu, 9 Juni 2024.
“Artinya Bumi ini pada kenyataannya sudah 10 tahun lebih cepat daripada model atau proyeksi para ilmuwan. Ini data dari Cipernicus.eu. Ini data dari ensamble model di seluruh dunia,” kata Erma.
Baca juga: Eross Sheila On 7 Lelang Gitar Kesayangan untuk Didonasikan ke Palestina
Dia mengungkapkan berdasarkan model skenario iklim global, semestinya suhu Bumi mencapai 1,5 derajat celsius pada Agustus 2033. Namun demikian, angka itu justru naik lebih tinggi saat ini dari proyeksi sebelumnya oleh ilmuwan yang ada.
Erma mengatakan kenaikan suhu itu tentu akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan di Bumi. Di antaranya suhu yang akan semakin meningkat, permukaan laut yang semakin naik, dan es di kutub yang semakin cepat mencair.
“Jadi titik kritis ini 1,5 derajat celsius sampai 2 derajat celsius. Jangan sampai kita melampaui itu. Nyatanya kita sudah melampaui 1,5 derajat celsius. Ini emergency karena kita sudah melampaui titik kritis itu. Ini bukan global warming, tetapi dunia sudah mencapai pada titik mendidih,” terangnya.
Dampak El Nino dan La Nina
Dia pun menyebut konsekuensi lain dari meningkatnya suhu lebih dari 1,5 derajat celsius dan perubahan iklim ialah pada fenomena El Nino dan La Nina. Dulu, kedua fenomena tersebut terjadi reguler dua sampai lima tahunan. Namun, dengan perubahan iklim fenomena tersebut menjadi tidak terprediksi.
“La Nina lebih sering terjadi dibandingkan El Nino. Namun intensitas El Nino lebih kuat dibandingkan La Nina. Pemanasan global timur lebih panas. Namun sekali lagi dampaknya lebih acak,” kata Erma.
Perubahan iklim akan memberikan dampak yang berbeda-beda bagi setiap wilayah. Bagi Indonesia, saat ini telah menunjukkan terjadi perubahan klimatologis di Indonesia yaitu musim hujan lebih panjang tetapi hari-hari kering meningkat di wilayah monsunal Indonesia seperti Jawa, Bali, NTB, NTT, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Selain itu, durasi musim hujan lebih Panjang. Hari-hari kering mengalami peningkatan selama musim hujan untuk semua wilayah.
“Selama musim hujan, terjadi peningkatan hujan ekstrem yang lebih sering dan selama musim kemarau hujan ekstrem semakin sering terjadi. Itulah yang sudah kita rasakan saat ini,” kata dia.
Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Joko Wiratmo mengungkapkan, kondisi itu membuat semua pihak harus melakukan langkah mitigasi dan adaptasi yang masif.
Beberapa hal yang harus menjadi perhatian ialah terkait dengan energi terbarukan, pendidikan dan kesadaran iklim. Kemudian pengembangan infrastruktur tahan cuaca, perencanaan tata kota berbasis iklim, penghijauan dan konservasi hutan, pertanian berkelanjutan, penanggulangan bencana alam dan praktik pertanian adaptif.
“Kalau kita lihat ada SDGs, kita bicara masalah seperti ini. Ini yang kadang kala di kita masih belum bisa menghubungkan bagaimana SDGs dengan masalah perubahan iklim. Perlu di break down langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan,” ujarnya.
Kita di perguruan tinggi melakukan pendidikan, layanan kepada masyarakat, sekaligus penelitian. Tiga hal itu menjadi penting untuk upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” pungkas dia.
Ikuti terus berita dan artikel Lampost.co lainnya di Google News.