Bandar Lampung (Lampost.co) — Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung mencatat deflasi 1,47 persen secara bulanan (month-to-month/m-to-m) pada Agustus 2025. Angka itu lebih rendah daripada bulan yang sama pada tahun lalu (Agustus 2024) dengan inflasi 0,07 persen.
Pengamat ekonomi Universitas Lampung, Marselina Djayasinga, mengatakan angka tersebut kerap dipandang positif karena menunjukkan penurunan harga. Sedangkan, deflasi justru mengindikasikan lemahnya konsumsi masyarakat.
Permintaan yang turun menyebabkan harga barang dan jasa ikut menurun. “Permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa menurun. Penurunan daya beli yang terus terjadi bisa mengarah pada stagnasi ekonomi,” ujarnya.
Ia menambahkan, resesi dunia yang pernah terjadi pada 1926 kemungkinan akan terulang lagi pada 2026 seperti halnya siklus 100 tahunan, jika tidak ada antisipasi cepat. “Bukan ingin menakut-nakuti, tetapi ada beberapa gejala ekonomi fundamental yang mengindikasikan ke arah sana,” kata dia.
Marselina menjelaskan, gejala fundamental ekonomi yang kurang baik. Hal itu terlihat dari turunnya daya beli masyarakat, tekanan nilai tukar rupiah, IHSG yang terus menurun, produk domestik bruto, hingga pertumbuhan ekonomi yang melambat.
“Pengangguran meningkat, defisit neraca perdagangan makin dalam, dan tabungan nasional menipis,” jelasnya.
Menurutnya, fundamental ekonomi saat ini tertekan dari sisi permintaan dan penawaran. Faktor produksi mulai langka, sedangkan kesenjangan dan ketidakadilan makin meningkat. “Fundamental ekonomi Indonesia relatif rapuh sejak pasca Covid dan berlanjut dengan kondisi geopolitik dunia yang tidak menentu,” kata dia.
Ia menambahkan, fluktuasi harga energi memengaruhi kondisi APBN dan kenaikan harga pangan dan bahan bakar dunia yang mendorong naiknya kebutuhan pokok dalam negeri.
“Suku bunga tinggi dari Federal Reserve AS mendorong Bank Indonesia dan perbankan dalam negeri menyesuaikan suku bunga untuk membatasi capital outflow,” kata dia.