Jakarta (Lampost.co)–Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan. Salah satunya Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Pamekasan.
Ketua Umum PC PMII Pamekasan Homaidi berpendapat, kenaikan PPN 12 persen memberatkan masyarakat. Terutama kelompok menengah ke bawah (proletariat), serta berpotensi memperburuk perekonomian nasional.
Sejumlah analis ekonomi menyatakan kenaikan tarif PPN 12 persen dapat menambah pengeluaran rumah tangga kelas menengah hingga Rp354 ribu per bulan atau lebih dari Rp4 juta per tahun.
Baca Juga: Kenaikan PPN 12 Persen Beratkan Masyarakat
“Beban ini berat, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi,” kata Homaidi dalam keterangan resmi di Jakarta, dikutip Minggu, 29 Desember 2024.
Homaidi menyoroti dampak lain, yakni kenaikan harga barang dan jasa hingga lima persen, yang diprediksi akan memicu inflasi. Kenaikan ini berisiko menekan daya beli masyarakat terhadap barang non-esensial dan menurunkan omzet pelaku UMKM, sektor yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
“Jika daya beli terus melemah, sektor usaha yang bergantung pada konsumsi domestik pun terancam mengalami penurunan kinerja, sehingga memicu potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya angka pengangguran,” terangnya.
Kelangsungan UMKM Tersandera
Homaidi menegaskan, kenaikan tarif PPN tidak hanya menambah beban bagi masyarakat luas, tetapi juga membahayakan kelangsungan UMKM.
“Kebijakan ini tidak lagi bijak di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Kami mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang rencana tersebut dengan mempertimbangkan dampak sistemiknya, yang berpotensi memperburuk kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi,” tegas dia.
Sikap PC PMII Pamekasan sejalan dengan Pengurus Besar PMII yang meminta pemerintah membatalkan rencana kenaikan ini. “Pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan yang mendukung pemulihan ekonomi dan peningkatan daya beli masyarakat, bukan justru menambah beban pajak,” ujarnya.
PC PMII Pamekasan menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk bersatu menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini. Pihaknya berharap pemerintah dapat mendengar aspirasi rakyat dan mengambil langkah yang lebih berpihak kepada masyarakat kecil dan pelaku UMKM.
Pengeluaran Bertambah
Sementara itu, peneliti CELIOS Galau D Muhammad memproyeksikan pengeluaran masyarakat kelas menengah dan bawah akan bertambah dengan kenaikan PPN ini.
“Jadi, kalau kita tarik lagi di level pengeluaran, kelas menengah kita hitung itu akan ada pengeluaran tambahan sekitar Rp354.000. Jadi kalau akumulasi dalam setahun di 2025, itu akan ada pengeluaran tambahan Rp4.251.000. Itu beban yang kembali harus terbayarkan setiap rumah tangga, dan ini dampak nyata dari PPN dari 11 menjadi 12 persen,” ungkap Galau.
Ia menjelaskan meskipun kenaikan tarif PPN hanya satu persen, peningkatan dari harga dasar suatu barang atau jasa kelak akan mencapai hingga 5 persen. Bahkan, ada beberapa layanan bakal mengalami kenaikan harga hingga 9 persen.
Galau mengungkapkan, kebijakan tersebut akan semakin menekan daya beli masyarakat. Ke depannya, ia melihat akan ada pola penyesuaian atau perubahan konsumsi dari masyarakat yang nantinya akan mengurangi pengeluaran terhadap barang-barang tidak esensial seperti hiburan, dan perjalanan.
Barang dan Jasa Mewah
Selain itu, masyarakat miskin yang pendapatan per bulannya rata-rata hanya Rp500.000, diperkirakan akan menanggung kenaikan pengeluaran hingga Rp100.000 per bulan. Bansos yang pemerintah berikan pun, kata Galau, tidak akan cukup menjadi penolong karena jumlah dan waktu yang terbatas.
Menurutnya, alangkah lebih baik jika pemerintah membatalkan kebijakan kenaikan PPN 12 persen tersebut. Mengingat kondisi perekonomian dalam negeri yang sedang tidak baik. Fakta ini, tercermin dari dari omset UMKM di 2024 yang turun hingga 60 persen, dan jumlah kalangan masyarakat menengah yang terus menurun.
Sembuhkan Kondisi Kelas Menengah
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan kebijakan PPN 12 persen ini akan semakin menyulitkan masyarakat kelas menengah. Mengingat itu akan berlaku pada banyak layanan dan barang yang biasa terkonsumsi mereka sebelumnya.
“Misalkan pakaian, atau katakanlah barang sekunder (kena PPN 12%), ini tetap memberatkan kelas tengah karena kesulitannya justru disposable income. Jadi, nanti bukan hanya pengeluaran untuk barang tahan lama saja yang turun, tetapi tabungannya mengalami penurunan. Kemudian pinjaman online itu meningkat tajam,” ungkapnya.
Menurut Faisal, seharusnya pemerintah memberikan berbagai insentif kepada masyarakat kelas menengah untuk memulihkan kembali kondisi ekonominya. Namun, ia menekankan, insentifnya harus berbeda dengan kalangan masyarakat miskin.
“Jadi, membantu biaya hidupnya seperti yang pemerintah umumkan. Memberikan fasilitas keringanan pembayaran listrik 50 persen untuk daya listrik 2.200 VA, itu sebetulnya menyasar kelas menengah. Tapi sayangnya hanya untuk dua bulan saja, jelas tidak cukup,” ujarnya.