Jakarta (Lampost.co) — Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor perhotelan dan restoran kini semakin nyata setelah pemerintah resmi melakukan efisiensi anggaran dalam APBN 2025.
Pemangkasan itu berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi B Sukamdani, menyatakan segmen pemerintah menyumbang 40% dari total pendapatan industri perhotelan dan restoran nasional, dengan nilai mencapai Rp24,8 triliun.
Penghapusan belanja pemerintah dalam sektor itu langsung berdampak signifikan terhadap tingkat okupansi hotel dan pemesanan jasa restoran.
Efek dari kebijakan efisiensi anggaran tersebut pun terasa sejak awal 2025. Hal itu dengan berkurangnya pesanan dari instansi pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bahkan, pemerintah daerah yang hanya mengalami pemotongan transfer dana Rp50 triliun juga ikut mengurangi kegiatan di sektor perhotelan dan restoran.
“Begitu Inpres itu terbit, langsung tidak ada pemesanan dari pemerintah maupun BUMN. Bahkan pemesanan di daerah pun ikut terhenti meskipun pemotongan anggarannya relatif kecil,” ujar Hariyadi.
Menurutnya, semua sektor saat ini bergantung pada belanja pemerintah yang mengalami dampak sangat signifikan
PHK Massal Industri Hotel dan Restoran
Dampak paling mengkhawatirkan dari kebijakan itu adalah potensi PHK massal. Sebab, banyak pelaku usaha di sektor itu akan memangkas kapasitas hingga 50% guna menekan biaya operasional.
“Ketika kapasitas turun 50%, otomatis harus mengurangi karyawan juga. Kami tidak bisa mempertahankan tenaga kerja tanpa ada tamu. Semua harus menekan biaya operasional agar bisnis tetap bisa bertahan,” ujarnya.
Menyusutnya permintaan membuat sektor perhotelan dan restoran kini menghadapi kekhawatiran besar. Hal itu antara mencari pasar baru atau melakukan efisiensi secara besar-besaran.
Menyelamatkan Industri Pariwisata
PHRI saat ini tengah mencari solusi untuk mengurangi ketergantungan pada anggaran pemerintah. Sektor perhotelan dan restoran perlu segera menemukan keseimbangan antara efisiensi dan inovasi agar tetap bisa bertahan dalam situasi sulit tersebut.
Beberapa langkah yang ditempuh antara lain meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara. Cara itu membutuhkan waktu dan strategi promosi yang kuat. Namun, pelaku industri perhotelan berharap dapat menarik lebih banyak wisatawan asing untuk mengisi kekosongan pasar domestik.
Kemudian mendorong pariwisata domestik (domestic travelers) menjadi salah satu cara mengisi kekosongan akibat hilangnya pasar dari sektor pemerintah. Namun, efektivitas strategi itu masih menjadi tanda tanya di tengah pemangkasan anggaran nasional.
Selain itu, kolaborasi dengan pihak ketiga. PHRI saat ini tengah menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Di antaranya Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), maskapai penerbangan, serta Kementerian Pariwisata untuk mengembangkan segmen pasar baru.
“Kami tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah. Kami saat ini sedang menjajaki kerja sama dengan berbagai pihak untuk memperluas pasar dan menciptakan segmen baru. Namun, hasilnya tidak bisa instan, setidaknya butuh 6 bulan sebelum terlihat dampaknya,” ujar dia.