Bandar Lampung (Lampost.co) — Kebijakan repatriasi valuta asing (valas) perlu dukungan insentif yang tepat agar dana dari luar negeri bisa memberikan manfaat optimal bagi perekonomian nasional.
Guru Besar Ekonomi Universitas Lampung, Nairobi, menilai insentif paling ideal bukan dengan menempatkan dana di perbankan. Namun, melalui surat berharga negara (SBN) atau obligasi milik pemerintah.
“Kalau misalnya masuk ke SUN atau obligasi milik pemerintah, multiplier effect-nya lebih besar dan cepat. Dana itu membuat pemerintah bisa menambah subsidi BBM sehingga harga bisa lebih terjangkau. Atau subsidi dalam bentuk perbaikan pasar yang saat itu kurang berjalan, agar aktivitas dagang kembali normal,” ujarnya.
Menurutnya, penempatan dana repatriasi di perbankan justru berpotensi menimbulkan kelebihan likuiditas. Pasalnya, sebelumnya ada dana pemerintah sebesar Rp200 triliun yang masuk ke perbankan. “Kalau itu masuk bank, khawatir ada kelebihan jumlah uang beredar yang bisa memicu inflasi,” jelasnya.
Selain itu, penempatan dana valas di perbankan juga berisiko membuat cadangan devisa meningkat terlalu cepat. Kondisi tersebut dapat mendorong penguatan rupiah secara mendadak.
“Kalau mata uang menguat mendadak, daya saing ekspor akan turun. Padahal, kita juga menginginkan pendapatan dari sisi pajak ekspor,” kata dia.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya desain insentif yang memperkuat kebijakan fiskal pemerintah. Dengan begitu, repatriasi valas bisa benar-benar menjadi instrumen untuk mendorong daya beli masyarakat sekaligus menjaga stabilitas ekonomi.
“Alangkah lebih ideal kalau itu tertanam dalam surat berharga pemerintah. Pemerintah jadi punya ruang fiskal lebih besar sehingga bisa menjalankan kebijakan-kebijakan yang sebelumnya sulit dilakukan,” pungkasnya.