Jakarta (Lampost.co) — Kinerja ekonomi Indonesia pada awal 2025 menunjukkan tren perlambatan. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan impor barang konsumsi turun 14,24% pada Januari-Februari 2025 dari periode yang sama tahun lalu hanya mencapai US$ 3,11 miliar. Impor konsumsi tetap menurun meski Ramadan 1446 H tiba lebih awal mengindikasikan daya beli masyarakat melemah.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, menilai penurunan itu mencerminkan lemahnya konsumsi masyarakat, meski ada insentif sementara seperti diskon tarif listrik. Selain daya beli, turunnya impor juga karena strategi importir yang menumpuk stok akhir tahun untuk mengantisipasi kenaikan PPN yang penerapannya batal.
“Pada kuartal pertama, daya beli masyarakat tampak lemah, terutama di Jawa. Namun, di luar Jawa masih tertolong harga komoditas, seperti sawit, cokelat, dan kopi yang tinggi,” ujar David.
Sementara, berdasarkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari Bank Indonesia juga menunjukkan perlambatan. Indeks turun menjadi 126,4 dari 127,2 pada Februari 2025 dari bulan sebelumnya. Meskipun masih berada di zona optimistis, penurunan itu menunjukkan kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi ekonomi Indonesia pada 2025 ini.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menganggap situasi itu sebagai sinyal bahaya bagi ekonomi nasional. Ia menyoroti kinerja penerimaan pajak yang anjlok pada Januari-Februari 2025.
Kementerian Keuangan mencatat pendapatan negara hanya Rp 316,9 triliun, turun 20,8% dari Rp 400,36 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Penerimaan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara turun sekitar 25%, dengan penerimaan pajak Februari 2025 hanya Rp 187,8 triliun, anjlok 30,19% daripada tahun sebelumnya.
“Penurunan pajak yang signifikan itu akan membatasi kemampuan pemerintah dalam menstimulasi perekonomian,” kata Huda.
Huda memperingatkan kondisi itu akan memburuk di kuartal II dan III meski THR dan bonus Lebaran bisa mendongkrak daya beli pada Maret-April. Kemampuan pemerintah dalam menggenjot ekonomi juga semakin terbatas jika penerimaan negara terus menurun.
Defisit APBN Membesar
Kementerian Keuangan melaporkan defisit APBN per Februari 2025 mencapai Rp 31,2 triliun, berbanding terbalik dengan surplus Rp 26,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Pendapatan negara mencapai Rp316,9 triliun, sedangkan belanja negara menyentuh Rp348,1 triliun.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai pelemahan ekonomi sering ditandai dengan pertumbuhan melambat. Selain itu, pengangguran meningkat, stagnasi konsumsi rumah tangga, dan investasi yang merosot.
“Jika ekonomi melemah, penerimaan PPh dan PPN biasanya turun. Namun, penurunan itu juga bisa terpengaruh dari kegagalan implementasi sistem Coretax,” jelas Hidayat.
Ia memperingatkan pelebaran defisit APBN bisa memicu kebijakan pemerintah yang sulit. Beban bunga juga akan meningkat dan belanja produktif seperti infrastruktur serta kesehatan bisa terpangkas jika memilih menambah utang.
Kemudian, program subsidi dan bantuan sosial bisa terhambat jika pemerintah memangkas belanja sehingga memperparah pelemahan daya beli masyarakat.
Tanpa stimulus yang memadai membuat kondisi ekonomi nasional berisiko semakin terpuruk di semester II 2025. Pemerintah harus mencari strategi efektif untuk mengatasi anjloknya penerimaan pajak dan menstabilkan daya beli masyarakat agar ekonomi tidak semakin lesu.