Jakarta (Lampost.co) — Industri penerbangan global kembali mendapat tekanan berat. Raksasa dirgantara asal Amerika Serikat, Boeing, mengumumkan keputusan untuk merumahkan 496 karyawan.
Langkah itu bagian dari pemangkasan besar-besaran yang akan memengaruhi hingga 17.000 posisi kerja atau sekitar 10% dari tenaga kerja global Boeing.
Dalam pernyataannya kepada Reuters, Boeing menjelaskan bahwa keputusan itu merupakan bagian dari upaya perusahaan untuk menyelaraskan jumlah tenaga kerja dengan kondisi keuangan dan prioritas bisnis yang lebih terfokus.
“Perusahaan sedang menyesuaikan tingkat tenaga kerja agar selaras dengan realitas keuangan dan serangkaian prioritas yang lebih terfokus,” ujar juru bicara Boeing.
PHK itu tidak hanya terjadi di satu lokasi. Boeing mengumumkan rencana untuk memberhentikan lebih dari 2.500 pekerja di fasilitas mereka yang tersebar di Washington, Oregon, South Carolina, dan Missouri.
Negara bagian Washington, tempat Boeing memiliki 60.000 tenaga kerja di Pabrik Paine Field Everett, menjadi wilayah yang paling terdampak dari keputusan itu.
Selain itu, aksi mogok kerja 33.000 karyawan Boeing menambah tekanan terhadap perusahaan. Para pekerja menuntut peningkatan upah dan insentif di tengah lonjakan permintaan perjalanan udara.
Dampak Terhadap Maskapai
Situasi itu menjadi lebih kompleks karena Boeing sedang berjuang untuk mengembalikan ritme produksi pesawat 737 MAX. Pesawat itu sebelumnya menghadapi berbagai masalah teknis dan keselamatan yang memengaruhi reputasi perusahaan.
Dampak dari langkah perampingan itu akan terasa bagi industri maskapai penerbangan global. Badan penerbangan internasional (IATA) memperkirakan tekanan pada maskapai akan meningkat pada 2025 karena potensi kekurangan armada.
“Kami memberi mereka (pabrikan pesawat) waktu. Namun, kesabaran kami habis. Situasi itu tidak dapat diterima,” ujar Direktur Jenderal IATA, Willie Walsh, kepada wartawan di Jenewa.
Walsh mendesak Boeing dan Airbus untuk meningkatkan kapasitas produksi guna memenuhi permintaan pasar. Hal itu meski maskapai memiliki proyeksi tetap membukukan pendapatan hingga USD 1 triliun (Rp15.000 triliun) di tahun mendatang,
Walsh menambahkan maskapai harus meningkatkan tekanan terhadap pemasok utama. Bahkan, ia menyarankan agar ada dukungan dari pihak lain untuk memaksa pabrikan pesawat bertindak lebih cepat.
“Kami harus meningkatkan tekanan dan mencari dukungan tambahan untuk memaksa pemasok utama agar bertindak bersama,” kata dia.
Keputusan PHK besar-besaran itu memunculkan kekhawatiran tentang keberlanjutan bisnis Boeing di tengah persaingan ketat dengan Airbus dan tantangan global lainnya.
Permintaan pesawat yang terus meningkat membuat keberhasilan Boeing dalam menyeimbangkan efisiensi operasional. Selain itu, produksi pesawat akan menjadi faktor kunci dalam menentukan masa depan industri penerbangan.