Bandar Lampung (Lampost.co)–Pengelolaan sampah masih menjadi tantangan besar di banyak daerah di Indonesia. Kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan tanpa pengelolaan yang tepat membuat lingkungan menjadi kotor dan tidak nyaman. Situasi ini pernah Virgoria Pujiningsih rasakan di tempat kerjanya, Kampus Politeknik Kesehatan Tanjungkarang di Kota Bandar Lampung.
Virgoria Pujiningsih, yang akrab disapa Mbak Igo, merasa iri melihat kebersihan di tempat lain. Halaman depan kampusnya sering kali penuhi tumpukan sampah tanpa pengelolaan baik.
“Dulu di Poltekkes itu sampah seperti di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) ilegal di pinggir jalan. Orang yang masuk dihadapkan dengan sampah, padahal ini adalah lingkungan pendidikan kesehatan,” cerita Igo.
Baca Juga: Pengelolaan Bank Sampah Harus Berkelanjutan
Sebagai Kepala Instalasi Pemeliharaan dan Perbaikan Sarana dan Prasarana, Igo tidak tinggal diam. Ia memulai gerakan untuk mengatasi persoalan sampah di kampusnya yang bernama Bank Sampah Golden Poltekes Tanjungkarang. Namun, perjalanan ini tidak mudah. Banyak tantangan, baik internal maupun eksternal, yang dihadapinya hingga hampir membuatnya menyerah.
Igo menjelaskan bahwa mendirikan bank sampah bertujuan mengedukasi masyarakat, khususnya warga kampus. dalam mengelola sampah. Tidak semua pihak mendukung gerakan ini, bahkan mengumpulkan sampah masih dianggap negatif.
“Ada yang bilang, ngapain sih bikin ecobrick, nanti juga jadi sampah lagi. Padahal ini bisa menjadi cara untuk mengurung plastik agar tidak berterbangan ke laut, sungai, atau menumpuk di selokan,” kata Igo, alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.
Tantangan Besar
Menurutnya, tantangan terbesar datang dari dalam diri sendiri. Dibutuhkan banyak energi untuk memerangi sampah dan memberikan edukasi. Semangat yang menggebu di awal gerakan bijak menggunakan sampah plastik pada 2019 sempat membuat Igo kehabisan energi dan memutuskan untuk berhenti.
“Awal itu saya terlalu semangat, sampai akhirnya saya down karena lingkungan tidak sepenuhnya mendukung. Jadi saya sempat berhenti dan berpikir untuk membubarkan program menabung dan mendaur ulang sampah ini,” kenangnya.
Namun, alih-alih menyerah, Igo justru kembali bersemangat dan menghalau stigma negatif dari orang sekitar. Ia fokus pada orang-orang yang mau bergerak bersamanya dan menghasilkan karya dari sampah yang dikumpulkan. Kini, di area lobby Kampus Poltekes, pengunjung disuguhkan dengan pernak-pernik daur ulang karya bank sampah seperti kursi ecobrick, kursi dari galon, karpet dari plastik, dan botol-botol bekas berhias. Barang-barang daur ulang ini juga menghiasi sudut kelas dan perpustakaan.
Berbagai kegiatan di kampus juga sudah mulai mengurangi penggunaan produk kemasan sekali pakai. Saat rapat, tersedia dispenser dan gelas, dan dalam acara besar yang terpaksa menggunakan air minum kemasan, tersedia tempat sampah terpilah.
Role Model
“Jadi kita tidak hanya memberi edukasi ke instansi luar yang minta edukasi, karena edukasi dan menabung sampah ini sudah masuk dalam layanan publik Poltekes. Kita sekaligus menjadi role model dalam pengelolaan sampah,” terang Igo.
Pengelolaan sampah memerlukan pembentukan karakter untuk menumbuhkan kecintaan terhadap lingkungan. Igo tidak hanya fokus mengumpulkan sampah, tetapi juga melibatkan berbagai pihak untuk mengelola sampah bersama. Ia senang dan bangga karena halaman kampus mulai bersih dari sampah.
“Awalnya itu saya nimbrung dengan Hari Kesehatan Nasional (HKN), mahasiswa mengadakan kegiatan jadi saya nimbrung dan mencanangkan Ayo Mulai Bijak Plastik dengan cara mengurangi penggunaan plastik sekali pakai untuk kegiatan di kampus,” kata Igo.
Igo menambahkan bahwa pengelolaan sampah kini menjadi tuntutan dan tanggung jawab semua pihak penghasil sampah, berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Semua penghasil sampah harus bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan. Bahkan ada edaran terbaru Gubernur Provinsi Lampung yang mengimbau kantor swasta dan lingkup Pemerintah Provinsi Lampung untuk ramah lingkungan.
“Sebelumnya juga ada Pergub tentang pembatasan penggunaan plastik. Namun aplikasi di lapangan masih belum terlaksana. Karena permasalahan sampah ini tidak selesai jika hanya satu pihak yang bergerak. Yang kita tumbuhkan itu kesadaran dan kepedulian lingkungan, kemudian dengan sampah kita ingin mendapat sesuatu yang bernilai,” jelasnya.
Bank Sampah
Seperti program dari Bank Sampah Golden, selain menabung sampah dengan konversi nilai rupiah, kini ada gerakan menabung sampah dengan nilai gramasi emas bekerja sama dengan pegadaian.
“Jadi kita juga menjadi binaan pegadaian, menerima berbagai jenis sampah dari mahasiswa maupun masyarakat umum untuk mendapat reward saat menabung sampah. Tapi tujuan utamanya adalah kesadaran memilah sampah dan bijak menggunakan plastik sekali pakai,” tegasnya, Selasa, 6 Agustus 2024.
Gerakan anak muda di Lampung dalam menangani sampah kini sudah mengalami kemajuan meski belum terlihat masif. Dari 115 bank sampah di Lampung, yang aktif sekitar 90 komunitas. “Kalau untuk pergerakan, banyak anak muda sekarang bergerak untuk lingkungan. Walaupun pergerakannya masih langkah-langkah kecil, gerakan besar dimulai dari yang kecil,” ujarnya.
Igo mengatakan bahwa gerakan bisa dimulai dari diri sendiri seperti membawa tumbler saat bepergian, menggunakan totebag, serta tidak menggunakan plastik sekali pakai.
Saat ini, Bank Sampah Golden fokus pada plastik low value yakni plastik yang bernilai rendah, seperti kersek dan lainnya. Plastik ini dicacah-cacah dengan alat hingga menjadi serpihan untuk pengisi bantal maupun sofa pengganti dakron.
“Kami juga membuat gantungan kunci dari sampah-sampah ini,” ujarnya.
Pemasarannya masih di lingkungan kami, soalnya saat produksi sudah laku terjual. Mungkin nanti untuk jangka panjang kita bisa produksi lebih banyak lagi, kata Igo.