Jakarta (Lampost.co) — Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan (Hippindo) menyebut terjadi penurunan daya beli masyarakat pada Januari dan Februari 2025. Data internal asosiasi tersebut menunjukkan tren belanja melemah setelah periode Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah, menyebut penurunan itu belum bisa menjadi tanda ketidakmampuan masyarakat dalam berbelanja. Masyarakat mungkin hanya menunda pengeluaran setelah menghabiskan banyak dana saat Nataru.
“Saya cek, Januari-Februari memang turun, mungkin karena Nataru. Tapi, pada Maret itu mulai naik lagi. Ada Lebaran dan THR, jadi pembelian kemungkinan meningkat,” ujar Budi.
Dia menambahkan, momen Ramadan dan Lebaran biasanya menjadi puncak daya beli masyarakat. Namun, ia khawatir periode belanja yang berdekatan antara Nataru dan Lebaran membuat konsumen lebih memilih menahan pengeluaran.
“Kami khawatir masyarakat berpikir, ‘baru belanja Desember, masa Februari belanja lagi?’ Apalagi tahun depan jarak Natal dan Lebaran lebih dekat,” ujarnya.
Regulasi Menghambat Sektor Ritel
Selain faktor kebiasaan belanja, pihaknya juga menyoroti regulasi pemerintah yang kerap menghambat pertumbuhan sektor ritel. Sebab, banyak aturan yang membebani pelaku usaha, termasuk biaya tinggi dalam membuka toko baru.
Jika pemerintah memberikan kemudahan bagi industri ritel, lapangan kerja akan meningkat dan berujung pada pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
“Ritel itu banyak yang mau buka toko, baik dari dalam maupun luar negeri. Tapi, biaya mahal dan aturan berbelit jadi penghambat. Industri baja dibilang dipersulit, tapi ritel juga sama. Bahkan, sebelum buka toko saja, sudah banyak tantangan,” kata dia.
Untuk itu, pihaknya berharap momentum Ramadan dan Lebaran bisa mendorong konsumsi kembali. Selain itu, regulasi yang lebih fleksibel dapat membantu pertumbuhan sektor ritel dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja.