Bandar Lampung (Lampost.co) — Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) Provinsi Lampung menilai saat ini harga singkong Lampung mengalami penurunan. Bahkan jauh dari harga yang telah ditetapkan Pemprov Lampung.
Hal tersebut tersampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Gedung Nusantara Jakarta, Rabu, 25 Juni 2025.
Ketua PPTTI Provinsi Lampung, Welly Sugiono, mengatakan dalam proses yang berlaku. Seharusnya petani menerima harga bersih Rp945 per kilogram. Ini mengacu pada harga dasar Rp1.350 yang telah tertetapkan Gubernur Lampung, dengan potongan 30 persen.
Namun, faktanya, para petani hanya menerima antara Rp400 hingga Rp500 per kilogram. Harga tersebut karena praktik permainan harga oleh pelaku lapak yang mengambil keuntungan.
“Kalau pelapak ambil untung Rp100 saja per kilogram, dengan volume produksi yang ada di Lampung. Keuntungannya bisa mencapai Rp110 miliar. Ini luar biasa besar,” ujarnya.
Kemudian ia juga menyoroti bahwa permasalahan dalam industri tapioka tidak bisa hanya terlihat sebagai konflik antara petani dan pabrik. Menurutnya, masalah ini adalah hasil dari kerusakan sistem dalam ekosistem industri tapioka itu sendiri. Apalagi selama ini tidak pernah tertangani secara menyeluruh.
“Setiap muncul masalah, selalu petani dan pabrik yang terbenturkan. Padahal ini bukan persoalan dua pihak saja, tapi seluruh sistemnya yang bermasalah,” kata Welly.
Tekanan Berat
Sementara itu, para pabrik singkong anggota PPTTI juga mengalami tekanan berat. Hingga saat ini, tercatat ada sekitar 250 ribu ton stok tapioka dari anggota asosiasi yang tidak bisa terjual.
Harga pasar yang sebelumnya mencapai Rp6.500 per kilogram, kini hanya harganya Rp5.200. Belum termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Kondisi ini membuat pabrik kesulitan menutupi biaya produksi jika tetap membeli singkong dari petani dengan harga tinggi.
Tak hanya soal harga dan distribusi, Welly juga menyoroti kebijakan harga Rp1.350 yang hanya berlaku tanpa ada penerapan daerah lain. Ia menilai hal ini menimbulkan diskriminasi dan ketimpangan antar daerah.
“Kalau kebijakan ini tidak bisa terterapkan secara nasional, mengapa hanya Lampung yang ada aturannya. Ini membuat kami tidak bisa bersaing, padahal Lampung menyumbang sekitar 40 persen produksi tapioka nasional,” katanya.
Adapun PPTTI meminta agar pemerintah pusat segera menetapkan harga singkong secara nasional. Langkah ini penting untuk menciptakan keadilan bagi semua pelaku industri tapioka termasuk petani dan pabrik.
“Penetapan harga singkong kami minta berlaku secara nasional. Ini harus segera terlaksanakan agar menciptakan keadilan dan kepastian,” katanya.
Kemudian ia juga mengatakan impor tapioka mulai terjadi pada tahun 2012. Dan terbebaskan bea masuk yang terbebankan oleh perusahaan yang melakukan impor.
“Dari segi bibit kita juga sudah kalah dari segi pemupukan juga tidak maksimal. Kemudian tidak satupun pemerintah itu launching bibit yang bagus. Sekarang di Thailand per hektar bisa sampai 50 ton kadar pati pasti bisa sampai 23 sedangkan. Sementara kita 20 persen sudah alhamdulillah,” tutupnya