Jakarta (Lampost.co) – Gelombang krisis kembali menghantam industri otomotif Eropa. Bahkan, tiga raksasa otomotif dunia tengah terancam bangkrut, seperti Volkswagen (VW), Renault, dan Stellantis.
Kondisi itu akibat penurunan permintaan, persaingan ketat dari produsen Asia, dan lonjakan biaya energi dan tenaga kerja. Dalam beberapa tahun terakhir, ketiga perusahaan itu berjuang keras agar tetap bertahan di tengah tekanan global yang semakin kuat.
Volkswagen, perusahaan otomotif terbesar di Eropa, mengumumkan rencana penutupan tiga pabrik di Jerman. Sehingga, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) puluhan ribu karyawan sebagai bagian dari restrukturisasi besar-besaran.
Kepala Dewan Perwakilan Pekerja VW, Daniela Cavallo, menyebut langkah itu sebagai respons atas tekanan ekonomi yang makin sulit. Terlebih, tingginya biaya energi, dan ketatnya persaingan dari produsen Asia.
“Manajemen sangat serius dengan langkah ini dan bukan ancaman dalam perundingan bersama,” kata Cavallo dalam pertemuan di Wolfsburg, pusat utama VW, mengutip Reuters.
Restrukturisasi itu berpotensi menjadi awal dari penjualan aset besar-besaran VW di Jerman. VW juga berencana memotong gaji merek Volkswagen hingga 10% dan membekukan kenaikan gaji hingga 2026.
Hal itu sejalan dengan pernyataan CEO Volkswagen Group Oliver Blume, yang menyatakan industri otomotif Eropa menghadapi tantangan berat dan pesaing baru yang agresif di pasar. Kondisi Volkswagen itu menarik perhatian pemerintah Jerman.
Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck, turut menggelar KTT otomotif untuk mencari solusi atas krisis tersebut. Pertemuan virtual yang melibatkan perwakilan industri otomotif Jerman membahas penurunan permintaan mobil listrik (EV) yang signifikan di Eropa.
Menurut data dari Bloomberg Intelligence, satu dari tiga pabrik otomotif besar di Eropa, termasuk BMW, Mercedes, Renault, dan Volkswagen, beroperasi di bawah kapasitas produksi.
Contohnya, pabrik Stellantis di Mirafiori, Italia, yang memproduksi Fiat 500e, mengalami penurunan produksi lebih dari 60% di paruh pertama 2024.
Persaingan Ketat dengan China
Produsen mobil China seperti Geely, Chery, Great Wall Motor, dan BYD kini menjadi ancaman besar bagi dominasi produsen Eropa. Meskipun ada tarif Uni Eropa terhadap mobil listrik buatan China, para produsen tetap memasuki pasar Eropa. Bahkan, berencana mendirikan pabrik lokal untuk menghindari tarif lebih tinggi.
Hans-Werner Sinn, mantan Presiden Ifo Institute, menyebut kebijakan pro-lingkungan di China dan Eropa memaksa produsen mobil untuk beradaptasi cepat.
Kebijakan ambisius, seperti Green Deal Eropa dan larangan mobil berbahan bakar fosil pada 2035 mengubah pasar secara drastis. Sehingga, membuat produsen Eropa kini memandang produsen China sebagai pesaing utama.
Ekonom Carsten Brzeski dari Bank ING menyatakan penurunan industri otomotif di Eropa, terutama di Jerman, dapat berdampak pada kesejahteraan ekonomi kawasan tersebut.
Di Jerman, industri otomotif menyumbang 7% hingga 8% dari PDB tahunan. Ancaman terhadap sektor itu dapat mengguncang stabilitas ekonomi Eropa.
Brzeski dan Hans-Werner Sinn mengusulkan pembentukan klub iklim, sebagaimana yang usulan Kanselir Olaf Scholz. Hal itu untuk menciptakan kesetaraan di antara produsen mobil dunia.
Ide tersebut agar negara-negara besar seperti Uni Eropa, China, India, Brasil, dan AS bekerja sama dalam menghadapi perubahan iklim tanpa merugikan industri otomotif.
Stellantis, yang mengalami penurunan penjualan, terpaksa menghentikan produksi Fiat 500e di pabrik Mirafiori, Italia, selama sebulan. Pabrik itu menjadi simbol dari krisis yang industri otomotif Eropa saat ini hadapi.
Pengamat industri Frank Schwope dari University of Applied Sciences di Jerman menilai meski Volkswagen mencatat keuntungan operasional 22,6 miliar euro pada 2023.
Sementara langkah pengetatan manajemen menciptakan kesan krisis. Hal itu guna meredam tuntutan kenaikan gaji dan mendukung subsidi mobil listrik.