Bandar Lampung (Lampost.co) — Meningkatnya kasus penipuan dan pinjaman daring ilegal menjadi peringatan penting akan rendahnya literasi keuangan di masyarakat, terutama di kalangan perempuan. Di tengah tekanan ekonomi dan kemudahan akses digital, banyak perempuan terjebak dalam jeratan keuangan tanpa memahami risiko di baliknya.
Poin Penting
- Kasus penipuan dan pinjaman online ilegal meningkat. Perempuan jadi kelompok paling rentan korban keuangan digital
- Rendahnya literasi keuangan dan minimnya pengetahuan soal keamanan data pribadi
- Dampak keuangan digital ilegal: konflik keluarga, masa depan anak terancam
- Perlu gerakan bersama tingkatkan literasi keuangan masyarakat
Hal tersebut disampaikan Ekonom Universitas Lampung, Marselina Djayasinga, dalam Seminar Literasi Keuangan Sicantik (Sahabat Ibu Cakap Literasi Keuangan Syariah) yang digelar Perkumpulan Istri Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (PIISEI) Lampung di Gedung Student Center Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unila, Jumat, 31 Oktober 2025.
Baca juga : Perempuan Rentan Jadi Korban Kejahatan Keuangan Digital
Marselina mengatakan sebagian besar korban kejahatan keuangan digital berasal dari kalangan perempuan. Mereka sering menghadapi keterbatasan pendapatan dan harus mengelola keuangan rumah tangga di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok.
“Korban kejahatan keuangan ini banyak di dominasi oleh perempuan, mereka rentan. Perempuan ini kadang sumber pemasukannya dari kepala keluarga terbatas, sementara dia harus mengelola uang tersebut di tengah harga barang yang melonjak,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi tersebut membuat banyak perempuan tergoda dengan tawaran kemudahan pinjaman daring. Mereka berharap dapat memenuhi kebutuhan keluarga melalui layanan keuangan digital tanpa memahami risiko yang menyertainya.
“Akhirnya ketika diiming-imingi kemudahan peminjaman daring saat ini, mereka tergugah untuk terlibat karena memang untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” kata dia.
Namun, ia menambahkan, tidak semua perempuan terjerat karena tekanan ekonomi. Sebagian terlibat akibat pola hidup konsumtif dan dorongan membeli barang di luar kebutuhan pokok.
“Tetapi ada juga faktor lain, yaitu mereka terlibat karena pola hidup konsumtif. Bukan untuk kebutuhan pokok sehari-hari, melainkan barang-barang tersier yang impulsif. Karena penghasilannya terbatas, akhirnya mereka mengambil pinjaman daring,” jelasnya.
Ia menjelaskan, rendahnya literasi keuangan menyebabkan masyarakat sulit membedakan produk keuangan legal dan ilegal. Kondisi itu lebih parah karena rendahnya kewaspadaan terhadap keamanan data pribadi di era digital.
“Banyak yang asal memberikan data pribadi seperti KTP kepada orang asing dengan iming-iming tertentu. Padahal, hal ini sangat berisiko dan sering dimanfaatkan untuk kejahatan keuangan,” ungkapnya.
Marselina menilai edukasi literasi keuangan sangat penting di tengah maraknya modus penipuan digital. Perempuan, terutama para ibu rumah tangga, menjadi kelompok paling rentan karena peran mereka sebagai pengatur keuangan keluarga.
“Ketika sudah terjerat kejahatan keuangan atau terlilit hutang pinjaman, dampaknya kompleks. Mulai dari kualitas keharmonisan keluarga karena persoalan ekonomi, hingga masa depan anak-anak mereka,” tuturnya.
Ia menyebut rendahnya literasi keuangan turut di pengaruhi tingkat pendidikan dan kebiasaan masyarakat dalam mencari informasi. Akses internet dan layanan keuangan yang semakin luas belum sepenuhnya dengan peningkatan edukasi keuangan.
“Inklusi keuangan kita memang tinggi karena akses media sosial dan produk keuangan mudah. Tapi pemanfaatan internet untuk peningkatan literasi keuangan secara mandiri itu yang masih minim,” ujarnya.
Menurutnya, faktor sosial ekonomi juga berperan dalam keputusan seseorang mengakses layanan keuangan. Dalam kondisi terdesak, banyak orang mengabaikan legalitas layanan keuangan.
Ia menegaskan peningkatan literasi keuangan harus menjadi gerakan bersama agar masyarakat tidak hanya mudah mengakses layanan keuangan, tetapi juga memahami risikonya dan mampu mengelola keuangan secara bijak.
“Kadang kalau ekonominya lagi terhimpit, mereka nggak peduli legal atau ilegal yang penting dapat uang. Akhirnya bunganya tinggi tanpa mereka sadari karena literasi kurang, dan inilah jeratnya,” pungkasnya.
 
			 
    	 
                                








