Bandar Lampung (Lampost.co) — Walhi Lampung merespon putusan Mahkamah Agung (MA) atas dicabutnya Peraturan Gubernur (Pergub) Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana telah diubah dengan Pergub Lampung Nomor 19 Tahun 2023.
Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri menyebut dengan lahirnya Pergub yang telah berjalan lebih kurang empat tahun tersebut telah menguntungkan korporasi perkebunan tebu yang ada di Provinsi Lampung.
Selain itu Pergub yang berjalan kala itu mengabaikan hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Baca Juga:
Pergub Lampung Soal Panen Tebu Untungkan Korporasi dan Rugikan Lingkungan
“Terbitnya Peraturan Gubernur tersebut merupakan karpet merah bagi korporasi untuk melakukan pengabaian terhadap hak atas lingkungan hidup dan hak masyarakat,” katanya, Kamis, 23 Mei 2024.
Ia mengeklaim hal tersebut merugikan masyarakat yang terganggu akibat asap yang muncul dari aktivitas pembakaran. Serta adanya debu yang masuk hingga wilayah pemukiman masyarakat.
“Serta pemanenan dengan cara membakar ini juga tentunya akan menambah polusi dan sebaran emisi di Indonesia khususnya Provinsi Lampung,” jelasnya.
Titik Api
Berdasarkan hasil monitoring dan riset meja (desk research) oleh Walhi Lampung pada salah satu group perusahaan perkebunan tebu yaitu PT Sugar Group Company (SGC), PT Sweet Indo Lampung, PT Indo Lampung Perkasa, dan PT Gula Putih Mataram, pada 2024 ini memang belum terdapat fakta aktivitas pemanenan dengan cara membakar.
Namun berdasarkan analisis menggunakan data sebaran titik api/hotspot dari NASA, terdapat jumlah titik api di konsesi SGC pada 2021 sebanyak 57 titik api. Kemudian 2022 sebanyak 38 titik api dan pada 2023 sebanyak 135 titik api dengan tingkat kepercayaan yang beragam.
Tren waktu sebaran titik api tersebut juga beragam. Pada 2021 sebaran titik api mulai dari April hingga Desember. Kemudian pada 2022 sebaran titik api terdapat pada April hingga September dan 2023 terjadi pada Maret hingga November.
“Kami meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk dapat melakukan monitoring terhadap semua perusahaan perkebunan tebu di Provinsi Lampung. Apabila masih terdapat aktivitas pemanenan dengan cara membakar, maka KLHK harus berani untuk memberikan sanksi yang tegas baik pidana dan/atau perdata sesuai perundang-undangan,” pungkasnya.