Bandar Lampung (Lampost.co) — Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) mendesak pemerintah pusat untuk segera mengambil langkah nyata. Ini guna menyelamatkan industri tapioka nasional yang tengah mengalami tekanan berat. Khususnya Provinsi Lampung, sebagai salah satu daerah penghasil utama singkong dan tepung tapioka Indonesia.
Ketua Umum PPTTI, Welly Soegiono, mengungkapkan bahwa industri tapioka saat ini menghadapi berbagai tantangan. Termasuk maraknya produk impor, ketidakseimbangan harga. Serta perbedaan persepsi antara petani dan pelaku industri mengenai kualitas bahan baku.
“Pemerintah perlu memberlakukan moratorium impor tepung tapioka. Masuknya produk luar menyebabkan harga dalam negeri anjlok dan produk lokal tidak terserap pasar,” ujarnya, Rabu, 30 Juli 2025.
Senada dengan itu, Ketua I PPTTI yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif, Haru Nurdi, menyebutkan. Saat ini terdapat lebih dari 250 ribu ton stok tepung tapioka yang menumpuk pada gudang-gudang pabrik karena tidak terserap pasar.
“Sering kali pabrik jadi sasaran unjuk rasa terkait harga singkong. Padahal ada faktor lain seperti peran pelapak yang kerap membeli singkong dari petani dengan harga lebih rendah daripada harga pabrik,” jelas Haru.
Kemudian Haru menyebut harga tepung tapioka kini hanya berkisar Rp4.700 hingga Rp5.000 per kilogram. Jauh lebih rendah daripada harga sebelumnya yang sempat mencapai Rp6.000–Rp6.500 per kilogram.
Kebijakan
Selanjutnya PPTTI juga mengusulkan agar pemerintah menetapkan harga pembelian singkong secara nasional. Ini agar tidak terjadi ketimpangan antarwilayah. Saat ini, kebijakan seperti itu baru terterapkan Provinsi Lampung melalui Instruksi Gubernur No. 2 Tahun 2025 yang menetapkan harga singkong sebesar Rp1.350/kg dengan potongan maksimal 30 persen.
Namun, PPTTI menilai kebijakan tersebut sulit terimplementasikan sepenuhnya oleh pelaku industri. Karena tidak sebanding dengan harga jual tepung pada pasar saat ini.
Kemudian Haru juga menyoroti pentingnya keselarasan pemahaman antara petani dan industri. “Petani fokus pada hasil panen yang melimpah. Sedangkan industri mengutamakan kualitas terutama kadar aci dalam singkong,” katanya.
Karena itu, pihaknya berharap pemerintah pusat, melalui kementerian terkait. Memberikan pembinaan dan edukasi kepada petani untuk menghasilkan singkong berkualitas tinggi sesuai kebutuhan industri.
Lalu ia juga menekankan pentingnya pemilihan pupuk yang tepat. “Pupuk untuk singkong tidak bisa tersamakan dengan pupuk tanaman lain seperti padi. Ini berpengaruh langsung terhadap kualitas aci yang terhasilkan,” imbuhnya.
Kemudian PPTTI menyebut ada lima aktor utama yang terlibat dalam rantai industri singkong nasional. Yakni petani, pelaku industri, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku impor. Kolaborasi erat antara pihak penting untuk menjaga kestabilan industri dan harga.
“Inti dari tuntutan kami ada dua. Hentikan sementara impor tepung tapioka dan tetapkan harga beli singkong secara nasional,” tegas Haru.
Sementara langkah ini penting untuk melindungi keberlanjutan usaha petani dan industri dalam negeri dari tekanan eksternal yang semakin besar.