Bandar Lampung (Lampost.co) — Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal meminta Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk memberhentikan impor singkong. Hal ini karena agar bisa mensejahterakan para petani.
Hal tersebut tersampaikannya bersama tujuh Bupati saat ikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Gedung Nusantara Jakarta, Rabu, 25 Juni 2025.
Kemudian ia meminta agar pemerintah segera mengambil langkah konkret. Salah satunya dengan menghentikan atau setidaknya menahan impor tapioka.
Baca Juga :
“Industri dan pertanian ini harus tertata supaya semua tumbuh dan alhamdulillah baru tahun ini juga mendapatkan pupuk subsidi. Dan perkiraan kami karena pupuknya sudah tersubsidi maka produksi kami naik kira-kira 30 persen,” kata Mirza.
Kemudian ia menjelaskan bahwa Pemprov Lampung mengambil langkah sementara dengan menetapkan HET Rp1.350 per kg. Dengan potongan 30 persen sembari menunggu pemerintah pusat untuk membatasi impor tepung tapioka.
“Kami sudah menunggu 4 bulan. HET yang tertetapkan ini juga tidak akan lama. Dua bulan lagi ketika petani panen raya dan akan terjadi keributan karena banyak perusahaan yang memilih tutup,” jelasnya.
Komoditas Utama Lampung
Selanjutnya Mirza mengatakan bahwa jumlah penduduk Lampung sebanyak 9,4 juta jiwa. Sekitar 70 persen menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Termasuk sekitar 800 ribu keluarga yang menjadi petani singkong.
Terlebih, singkong merupakan komoditas utama Lampung, mengungguli padi dan jagung. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Lampung mencapai Rp50 triliun dari total Rp483 triliun.
Sayangnya, ketidakteraturan tata niaga sejak awal tahun 2000-an menyebabkan ketimpangan pertumbuhan antara petani dan industri. Produktivitas lahan yang stagnan pada angka 25–30 ton per hektar tak kunjung meningkat meskipun luas tanam bertambah.
“Jadi selama ini industri berjalan sendiri, industri berkembang sementara petani tidak. Kemudian produksi kita 25 sampai 30 ton per hektar sudah puluhan tahun tidak tumbuh tapi luasan tanam terus bertambah,” kata Mirza.
Kemudian Pemprov Lampung menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp900 per kilogram. Ini membuat pendapatan petani sangat rendah kurang dari Rp1 juta per bulan per hektar.
“Produksi lokal tepung tapioka mencapai Rp6 ribu per kilogram, sementara tepung impor hanya Rp5.200 dan bebas pajak. Ini membuat perusahaan tak mampu membeli dari petani dan memilih menutup pabrik,” ujarnya.
Adapun BPS mencatat produksi tepung tapioka Lampung sebesar 1,4 juta ton. Namun pelaku industri mengklaim angka riil mencapai 3,9 hingga 4,2 juta ton.
“Perusahaan sudah 1 bulan lebih saya paksa untuk ambil singkongnya petani dan hari ini stok di Provinsi Lampung ada 250 ribu ton. Ini tidak laku karena harganya sedang jatuh,” katanya.