Jakarta (Lampost.co) – Kekeringan yang melanda Brazil sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia itu menyebabkan harga kopi dan gula melonjak ke level tertinggi.
Di pasar global, harga kopi arabika mencapai rekor tertinggi dalam 13 tahun terakhir. Sedangkan, harga gula mentah mencatatkan kenaikan tertinggi dalam tujuh bulan.
Kondisi cuaca buruk itu tidak hanya berdampak pada Brasil. Namun, mengancam sektor kopi Indonesia yang mulai merasakan dampak perubahan iklim global.
Merujuk data Refinitiv, harga kopi arabika dalam sepekan terakhir melonjak 7,3% menjadi USD 269,1 per pound. Sepanjang tahun ini, harga kopi meroket 43%. Sinyal cuaca ekstrem di Brasil membuat harga kopi makin tidak stabil dan dampaknya mulai terasa hingga ke Indonesia.
Produksi Kopi Indonesia Turun
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kopi Indonesia mengalami penurunan dari 771 ribu ton pada 2022 menjadi 756,1 ribu ton pada 2023.
Penurunan itu menunjukkan ancaman nyata bagi sektor kopi nasional, terutama bagi para petani yang menggantungkan hidupnya pada tanaman tersebut. Perubahan iklim yang ekstrem, serangan hama, dan kurangnya peremajaan tanaman menjadi penyebab utama penurunan produksi.
Meski harga kopi melonjak, tidak semua petani dapat menikmati keuntungan dari kenaikan itu. Sebaliknya, pelaku industri pengolahan kopi harus menghadapi tantangan baru, yakni kenaikan biaya produksi akibat kelangkaan bahan baku.
Sementara, konsumsi kopi di Indonesia terus meningkat mencatat rekor tertinggi dengan 4,79 juta kantong pada tahun 2023/2024 menurut data USDA.
Di sisi lain, rival utama Indonesia, Vietnam, mengalami cuaca yang lebih bersahabat tahun ini. Meski dampak buruk cuaca pada tahun-tahun sebelumnya masih terasa, Vietnam dapat meningkatkan produksinya yang bisa membantu menstabilkan harga arabika yang melonjak akibat gangguan di Brasil.
Namun, Vietnam dapat menjaga stabilitas produksi, produktivitas kopi di Indonesia masih sangat rendah, hanya mencapai 780 kg per hektar. Angka itu jauh tertinggal dari Brasil yang mampu memproduksi 7.000 kg per hektar dan Vietnam yang menghasilkan 3.500 kg per hektar.
Dampak dari penurunan produksi juga terlihat dari penurunan drastis volume ekspor kopi Indonesia. Pada 2023, volume ekspor kopi turun menjadi 276.335,2 ton dari 433.881,1 ton pada tahun sebelumnya.
Meski volume turun, nilai ekspor tetap tinggi, mencapai USD 916,5 juta atau sekitar Rp 14,19 triliun, berkat kenaikan harga di pasar internasional. Namun, peningkatan nilai ekspor itu tidak bisa sepenuhnya menutupi kekhawatiran terhadap masa depan sektor kopi di Indonesia.
Jika penurunan produksi terus berlanjut tanpa adanya perbaikan nyata dalam teknik budidaya dan penanganan dampak perubahan iklim, Indonesia bisa kehilangan posisinya sebagai salah satu produsen kopi terbesar dunia.
Konsumsi Kopi Meningkat, Harga Kian Mahal
Sementara itu, di tengah lonjakan harga, konsumsi kopi di Indonesia justru terus meningkat. Survei Snapchart pada September 2023 menunjukkan 79% masyarakat Indonesia minum kopi setidaknya sekali sehari, terutama di pagi hari.
Sebagian besar konsumen menghabiskan antara Rp6.000 hingga Rp20.000 per cangkir, menjadikan kopi sebagai bagian tak terpisahkan dari rutinitas harian. Namun, dengan kenaikan harga yang terus terjadi, kopi akan menjadi beban baru bagi dompet konsumen Indonesia.
Meski tantangan di depan mata, harapan untuk menyelamatkan sektor kopi belum sepenuhnya sirna. Pemerintah dan pelaku industri kopi mulai menyusun langkah-langkah strategis, seperti peremajaan tanaman, peningkatan teknik budidaya, serta penanganan dampak perubahan iklim.
Jika langkah-langkah itu berjalan baik, Indonesia dapat mengembalikan posisinya sebagai salah satu produsen kopi terkemuka dunia.