Bandar Lampung (Lampost.co) — Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia–Konfederasi Serikat Nasional (FPSBI-KSN) meminta pemerintah tidak hanya menetapkan upah minimum provinsi (UMP). Namun, perlu memastikan perusahaan mematuhi seluruh aturan pengupahan dan perlindungan dasar bagi pekerja.
Ketua Umum FPSBI-KSN, Yohanes Joko Purwanto, menilai lemahnya pengawasan membuat kebijakan UMP belum sepenuhnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan buruh.
Akibatnya, kondisi daya beli pekerja terus tertekan seiring kenaikan harga kebutuhan pokok. Banyak buruh terpaksa membatasi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
“Banyak buruh mengencangkan ikat pinggang dan membatasi keinginan untuk banyak hal demi hidup layak. Artinya, ketika upah kurang, kemampuan daya beli juga ikut berkurang,” ujar Joko, Senin, 15 Desember 2025.
Menurut dia, penurunan daya beli tersebut menjadi indikator upah yang buruh terima belum sejalan dengan kenaikan biaya hidup yang terus terjadi.
Untuk itu, Joko berharap pemerintah tidak hanya fokus pada penetapan besaran UMP. Namun, juga memperkuat pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan dalam menerapkan sistem pengupahan.
“Pemerintah seharusnya tidak hanya mengawasi UMP, tetapi juga kepatuhan perusahaan dalam skala pengupahan. Apakah gaji pokok sesuai UMP, apakah ada tunjangan lainnya,” kata dia.
Ia menambahkan, masih banyak aspek kesejahteraan buruh yang belum terlaksana di perusahaan, termasuk kepatuhan terhadap kepesertaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
“Hal-hal dasar itu saja masih banyak yang tidak patuh. Kami sering menjumpai perusahaan hanya membayar BPJS Kesehatan untuk buruh tetap atau yang memiliki kontrak,” ujar Joko.
Sementara itu, buruh borongan dan pekerja dengan status tidak tetap kerap tidak mendapatkan perlindungan jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan.
“Bagi buruh borongan, mereka tidak dapat BPJS Kesehatan. Apalagi buruh informal, itu seperti mimpi saja perusahaan akan peduli,” ujarnya.








