Jakarta (Lampost.co) — Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai suntikan likuiditas Rp200 triliun ke bank-bank Himbara dan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) belum cukup efektif mendorong permintaan masyarakat.
Dalam publikasi terbarunya, LPEM menyebutkan gelontoran stimulus besar masih membuat inflasi inti stagnan. Bahkan, Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) belum menunjukkan perbaikan signifikan.
“Pemerintah menyuntikkan likuiditas sekitar Rp200 triliun ke bank Himbara untuk mendorong kredit dan BI memangkas suku bunga kebijakan hingga tiga kali berturut-turut menjadi 4,75% pada September 2025. Tapi, inflasi inti tetap rendah dan kepercayaan konsumen belum pulih,” tulis LPEM FEB UI dalam laporannya.
Menurut LPEM, kondisi itu menandakan tambahan likuiditas yang mengalir ke sektor perbankan belum sepenuhnya berubah menjadi permintaan barang dan jasa di tingkat konsumen.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi inti pada September 2025 tercatat 2,19% year-on-year (yoy). Angka itu hanya naik tipis 0,02 basis poin dari Agustus yang sebesar 2,17% yoy. Sementara inflasi umum mencapai 2,65% yoy, naik 0,34 basis poin dari bulan sebelumnya.
Perbedaan laju antara inflasi umum dan inti karena kenaikan harga kelompok pangan bergejolak (volatile food) yang tidak termasuk dalam penghitungan inflasi inti. Untuk itu, inflasi inti lebih mencerminkan daya beli masyarakat secara riil.
“Pemicu lonjakan inflasi kali ini bukan dari harga yang pemerintah atur. Melainkan tekanan dari kelompok pangan bergejolak yang kembali menguat setelah sempat mereda,” tulis LPEM FEB UI.
Risiko Likuiditas dan Zombie Company
LPEM FEB UI juga menyoroti risiko ekonomi jika uang beredar terus meningkat tanpa peningkatan kapasitas produksi dan distribusi. Dalam situasi tersebut, yang naik justru biaya produksi dan harga produsen, yang kemudian berlanjut di konsumen.
“Jika uang beredar terus bertambah sementara kapasitas produksi dan distribusi tidak ikut meningkat, maka yang bergerak naik adalah biaya dan harga produsen,” tulis lembaga itu.
Selain itu, likuiditas berlebih saat permintaan masih lemah berpotensi memunculkan pembiayaan berlebihan kepada perusahaan tidak produktif atau zombie company.
“Risiko signifikan dari likuiditas melimpah di tengah permintaan tertahan adalah pembiayaan berlebih pada zombie company, yaitu kredit kepada debitur lama yang tidak produktif. Injeksi semacam itu justru kontraproduktif bagi sektor riil,” tegas LPEM.
LPEM FEB UI menilai langkah pelonggaran moneter dan suntikan dana besar ke perbankan harus ada strategi konkret untuk meningkatkan permintaan domestik.
Kombinasi antara stabilitas harga, perbaikan daya beli, dan produktivitas sektor riil menjadi kunci. Sehingga, stimulus ekonomi tidak hanya berhenti di sektor keuangan, tetapi benar-benar terasa di tingkat masyarakat.
Kondisi inflasi inti yang belum bergerak dan kepercayaan konsumen yang masih lemah itu menjadi tantangan utama. Bank Indonesia dan pemerintah kini harus memastikan kebijakan moneter mampu mendorong aktivitas ekonomi riil secara berkelanjutan.