Tanggamus (Lampost.co) — “Sekolah sekarang sudah terang lo pak,” kata seorang anak perempuan yang berlari dengan riang memberikan kabar kepada gurunya.
Kalimat polos itu menunjukkan kebahagiaan sederhana karena listrik menyala 24 jam di Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Dusun Way Lebung, Desa Karangbuah, Pulau Tabuan, Kecamatan Cukuhbalak, Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Cahaya lampu yang berpendar di sepanjang ruang-ruang kelas menjadi pemandangan baru bagi warga sekitar saat malam. Sebab, bangunan bercat hijau-cokelat itu tidak hanya sebagai pusat pendidikan anak-anak, tetapi turut menjadi titik keramaian Dusun Way Lebung.
Masyarakat desa berpenduduk sekitar 400 kepala keluarga (KK) itu kerap berkumpul di gedung yang berdiri sejak 1988 tersebut setiap malam. Pasalnya, bangunan seluas 2.500 meter persegi itu menjadi kawasan yang memiliki sinyal seluler paling baik di atas ketinggian 671 meter dari permukaan laut di Pulau Tabuan.
Di tengah kabut tipis dan angin laut yang berhembus, warga di atas perbukitan tersebut datang hanya sekadar untuk memainkan ponselnya. Sederet masyarakat duduk di atas dingin keramik putih sambil berkirim pesan melalui perangkat telekomunikasi hingga mengisi daya dari stop kontak sekolah.
“Di sekolah kalau malam masih ramai walaupun dulu tidak ada listrik. Sekarang tambah ramai untuk cari sinyal karena sudah terang,” kata Rohimin, seorang guru SDN 2 Karangbuah, Rabu, 15 Oktober 2025.
Kondisi tersebut menjadi bagian keseharian warga pelosok Tanggamus itu. Dusun tersebut terbilang daerah tertinggal karena minimnya sarana dan prasarana, serta aksesibilitas yang sulit.
Untuk sampai di desa tersebut, perjalanan penuh tantangan lebih dari 150 kilometer selama enam jam harus dijalani. Perjalanan dimulai dari Bandar Lampung ke Pantai Putihdoh sekitar 100 kilometer yang ditempuh selama tiga jam.
Kemudian menyeberangi Teluk Semangka menggunakan perahu jukung ke Pekon (Desa) Sawang Balak. Pelayaran sekitar satu jam turut memanjakan mata karena air laut yang jernih dan biotanya di dalam hamparan karang.
Ekspedisi berlanjut dengan melintasi seluruh desa di pulau tersebut, mulai dari Desa Sawang Balak, Sukabanjar, Kutakhang (Kutakarang), hingga Karangbuah. Perjalanan selama dua jam menggunakan ojek motor trail. Praktik itu lumrah bagi warga di Pulau Tabuan. Pasalnya, medan menuju ke dataran tinggi tersebut terbilang ekstrem karena jalan berliku, berbatu dan terjal di tengah hutan.
Sementara, di sisi kiri langsung berbatasan dengan jurang karang curam yang menghadap ke arah Samudra Hindia. Perjalanan menjadi semakin menantang jika turun hujan karena jalanan akan menjadi licin.
Selain perjalanan yang memacu adrenalin, pemandangan rumah-rumah warga di pulau tersebut turut menjadi perhatian menarik. Sebab, sejumlah kediaman masyarakat terpajang panel surya sebagai sumber arus listrik.
Pemanfaatan energi surya itu baru sebagian kecil warga. Namun, hal itu menunjukkan adanya semangat daerah terpencil tersebut menjadi bagian pemerataan energi bersih melalui penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sebagai tulang punggung energi nasional.
Sementara, sebagian besar masyarakat pulau mengandalkan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang dihadirkan PLN pada 2019. Namun, keterbatasan kapasitas dan akses membuat jaringan PLTD belum dapat mengalir hingga ke Desa Karangbuah.
Untuk itu, masyarakat di daerah perbukitan tersebut menggunakan genset untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk di SDN 2. Namun, penggunaan genset justru membuat aktivitas semakin sulit. Sebab, warga harus melakukan perjalanan ke wilayah pesisir demi mendapatkan bahan bakar.
Sekolah pun setiap bulan harus mengeluarkan Rp400 ribu untuk membeli bahan bakar 20 liter seharga Rp15 ribu per liter dan biaya ojek Rp100 ribu. Bagi warga sekitar, biaya untuk menyalakan genset di rumah terbilang besar. Sebab, penghasilan masyarakat Pulau Tabuan yang mengandalkan hasil tangkapan ikan di laut dan berkebun.
“Genset kecil ukuran satu liter saja sudah kewalahan untuk biaya operasionalnya dan hanya bisa menyala selama empat jam,” kata dia.
Namun, kondisi itu kini berubah signifikan setelah sekolah tersebut mendapatkan bantuan PLN yang menghadirkan infrastruktur kelistrikan berbasis EBT melalui Surya Power Solusi Untuk Negeri (SuperSUN) pada 22 Juli 2025.
Sistem kelistrikan berbasis energi matahari itu membuat aktivitas elektrik di sekolah dapat beroperasi 24 jam tanpa henti. Kelas-kelas SD yang memiliki total 26 siswa itu kini tetap terang dengan nyala lampu meski sinar matahari sedang tidak menyorot gedung sekolah. Warga sekitar juga turut merasakan penerangan dengan jalan-jalan kampung yang terang berasal dari penerangan di sekolah.
Instalasi SuperSUN juga membuat guru tidak kesulitan untuk mencari materi pembelajaran di internet hingga mencetaknya di printer bisa kapan pun sehingga memperlancar kegiatan belajar mengajar. Sebab, keterbatasan aliran listrik sebelumnya membuat laptop dan ponsel kerap tidak terpakai karena selalu kehabisan daya.
Sementara biaya yang dikeluarkan untuk SuperSUN tidak membuat anggaran sekolah jebol. Sebab, operasional listrik meraup efisiensi hingga 98 persen. Kas sekolah hanya mengeluarkan dana Rp20 ribu untuk sekali membeli token listrik sejak SuperSUN terpasang. “Sekarang tidak perlu memikirkan biaya membeli bahan bakar lagi,” ujarnya sambil tersenyum simpul.
Nyalakan Motivasi Pendidikan Desa
Kepala SDN 2 Karangbuah, Sugi, menjelaskan arus PLTD yang berada di pesisir pulau tidak sampai ke dusun-dusun dataran tinggi. Bahkan, hanya sekadar memasang tiang listrik pun sulit diwujudkan karena beratnya medan menuju desa.
Padahal, sekolah sangat membutuhkan aliran listrik untuk berbagai kebutuhan. Sehingga, untuk memenuhinya harus menggunakan genset yang boros konsumsi bahan bakar.
Atas keterbatasan itu, PLN memberikan solusi dengan menghadirkan SuperSUN sebagai sistem kelistrikan berbasis energi matahari. Perangkat energi bersih tersebut lebih mudah untuk dibawa ke kawasan yang sulit dijamah manusia.
Untuk instalasi infrastruktur panel surya tersebut sekolah mendukung petugas PLN menggunakan ojek khusus karena tidak semua pengendara motor mampu naik dataran tertinggi di pulau tersebut.
Dia mengaku keberadaan dua unit panel surya di atap sekolah banyak membantu para guru hingga warga sekitar. Sebab, halaman SD tersebut menjadi titik kumpul warga desa yang mencari sinyal telekomunikasi, baik siang maupun malam hari.
“Ada pondokan untuk duduk-duduk warga sambil teleponan. Dulu gelap-gelapan, tapi sekarang sudah terang dan bisa sambil cas HP,” kata Sugi.
Selain itu, kehadiran setrum bersih turut mengangkat motivasi pendidikan di desa dengan meningkatkan kualitas guru melalui pelatihan yang biasanya harus pergi ke Desa Sawang Balak. Sebab, untuk mengadakan penyuluhan langsung di sekolahnya terkendala sinyal dan listrik.
Terlebih, jika pelatihan berlangsung hingga sehari penuh hingga dalam dua hari, maka listrik sekolah harus terus menyala nonsetop. Operasional tersebut memerlukan bahan bakar hingga puluhan liter untuk genset.
Sementara, kehadiran listrik yang andal saat ini memacu motivasi pihaknya untuk mengundang pelatihan sekolah dari daerah pesisir. “Sekarang kami yang mengundang pelatihan di atas selama berhari-hari dan bisa pakai laptop dan proyektor,” ujarnya.
Namun, berkah terbesar baginya adalah kebahagiaan para siswa yang telah berjalan hingga satu kilometer melewati kebun dan menghadapi ancaman hewan liar untuk sampai ke sekolah.
Sinar-sinar lampu di sekolah yang terpancar itu turut menambah semangat anak didiknya untuk belajar. “Siswa sampai ngomong ke mana-mana kalau sekolah sudah ada lampu saat malam,” kata dia.

Panel Surya Jaminan Energi Daerah Terpencil
Kepala Dusun Way Lebung, Imron, mengatakan kehadiran listrik SuperSUN membuat sekolah kini tidak lagi menggunakan genset untuk kebutuhan sehari-hari. Sebab, genset menyerap biaya besar, tetapi penggunaannya terbatas. Sedangkan, energi dari panel surya bisa menyala 24 jam tanpa kedip dengan biaya yang jauh lebih hemat.
Untuk itu, pihaknya berencana daya dari SuperSUN SDN 2 Karangbuah dapat disambungkan ke masjid terdekat yang belum teraliri listrik. Namun, untuk menghubungkan ke rumah-rumah masyarakat tidak dapat dilakukan karena jarak antarrumah di kampung tersebut yang berjauhan.
Dia menjelaskan warganya telah mengenal panel surya dalam beberapa tahun terakhir sebagai sumber energi listrik untuk kebutuhan di rumah. Sebelumnya, masyarakat pulau tersebut menggunakan lampu teplok sebagai satu-satunya sumber cahaya di malam hari.
Warga yang berupaya ingin merasakan kehadiran listrik secara swadaya menggunakan satu unit modul surya yang terpajang di atap-atap rumah. Lembaran penyerap energi matahari tersebut memiliki kekuatan 50 watt peak (Wp) dan baterai 70 ampere hour (Ah) dengan energi yang dihasilkan sekitar 200—250 Wh per hari.
Kapasitas itu untuk penggunaan listrik yang terbatas karena hanya cukup untuk menyalakan dua lampu berdaya 5 watt dan mengisi daya ponsel. Untuk itu, pemerintah desa mengharapkan adanya bantuan panel surya untuk rumah-rumah warga. Sebab, jika membangun infrastruktur kelistrikan konvensional sulit dilakukan di daerah tersebut.
“Bahkan, untuk menegakkan satu tiang listrik di dusun kami akan sangat sulit. Makanya, solusinya lewat panel surya untuk setiap warga,” kata Imron.
Listrik SuperSUN Merata dan Berkelanjutan
Asisten Manager PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Pringsewu, Arya Sulistomo, menjelaskan instalasi SuperSUN sebagai upaya menjadikan tenaga listrik untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang berwawasan lingkungan.
Program itu secara khusus sebagai strategi jangka panjang untuk memperluas akses listrik di wilayah terpencil sehingga rasio elektrifikasi 100% di Lampung segera terwujud, terutama di daerah pulau.
Untuk itu, pihaknya berupaya menghadirkan SuperSUN di Pulau Tabuan yang secara geografis tidak terjangkau jaringan listrik konvensional, baik kabel bawah laut maupun udara. Sebab, membuat pembangunan jaringan baru sangat kompleks sehingga energi bersih dari panel surya menjadi solusi praktis dan berkelanjutan.
Sistem kelistrikan itu secara khusus terpasang di SDN 2 Karangbuah yang memiliki kebutuhan mendesak untuk sarana-prasarana pendidikan. Pasalnya, sekolah tersebut menghadapi keterbatasan akses listrik sehingga menghambat kegiatan belajar mengajar.
Kelistrikan andal tersebut juga sebagai bentuk dukungan PLN untuk program revitalisasi sekolah dan digitalisasi pembelajaran guna meningkatkan mutu pendidikan di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Namun, pemasangan SuperSUN pertama di Lampung itu menghadapi tantangan berat dari kondisi geografis dan logistik. Sebab, pengiriman komponen SuperSUN, seperti panel surya, baterai lithium, dan perangkat hybrid, harus menggunakan perahu kecil hingga motor modifikasi untuk sampai ke dataran tinggi pulau. Perjalanannya pun turut bergantung pada kondisi cuaca.
Untuk itu, para petugas PLN di lokasi tersebut memerlukan waktu hingga dua hari dalam proses pemasangan SuperSUN berdaya 1.300 VA di SDN 2 Karangbuah. “Akses ke lokasi akhir pemasangan sangat sulit dan terbatas karena ketiadaan jalan yang memadai,” ujar Arya.
Dia menguraikan sistem SuperSUN di sekolah tersebut menjamin pasokan listrik stabil selama 24 jam melalui teknologi hybrid terintegrasi. Kunci operasional listrik dari sumber sinar matahari itu berasal dari sistem hybrid dan dukungan baterai lithium atau battery energy storage system (BESS) sebagai penyimpan daya.
Panel surya menghasilkan listrik yang langsung digunakan dan mengisi baterai pada siang hari. Sementara, baterai lithium sebagai sumber daya saat malam atau cuaca mendung agar listrik tetap beroperasi.
Menurut dia, SuperSUN menjadikan listrik hadir secara merata dan keberlanjutan. Sebab, sekolah tersebut tidak bergantung lagi bahan bakar fosil untuk operasional terbatas genset yang hanya menyala empat jam. Sekolah kini bisa menghemat biaya bulanan dari Rp400 ribu menjadi sekitar Rp50 ribu.
Selain itu, sistem kelistrikan berbasis EBT juga beroperasi secara ramah lingkungan dan bebas emisi sehingga berkontribusi langsung pada upaya transisi energi dan pengurangan jejak karbon. Sekolah juga tidak perlu operator khusus untuk pemeliharaan perangkat SuperSUN. “Perawatan rutinnya hanya perlu membersihkan panel surya,” kata dia.
Infrastruktur Kelistrikan Mewujudkan Kemandirian
Sementara itu, Manager Komunikasi dan TJSL PLN Unit Induk Distribusi (UID) Lampung, Darma Saputra, menjelaskan EBT menjadi fokus pengembangan jaringan listrik untuk mencapai 100% rasio elektrifikasi. Terutama pulau-pulau terluar yang pembangunan infrastruktur kelistrikannya terkendala kondisi geografis. Sebab, jarak untuk menarik kabel ke daerah pulau sangat jauh.
Upaya menyentuh wilayah-wilayah sulit teraliri listrik tersebut dengan pemanfaatan sistem SuperSUN yang kini terdapat di dua lokasi. SuperSUN pertama berada di SDN 2 Karangbuah, Pulau Tabuan. Pemasangan panel surya di sekolah tersebut terbilang vital karena sangat membutuhkan aliran listrik.
“Keberadaan energi bersih meningkatkan taraf hidup masyarakat lewat terbentuknya sekolah hijau. Sehingga, menimbulkan harapan baru dan semangat belajar yang lebih tinggi bagi siswa dan tenaga pendidik,” kata Darma.
Kemudian SuperSUN dalam program Smart Farming di lahan pertanian seluas 1.335 hektare Desa Trimomukti, Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan. Ketersediaan listrik yang stabil 24 jam itu krusial untuk mendukung pengolahan irigasi hingga penyimpanan hasil panen.
Dalam dua bulan operasional SuperSUN di lahan pertanian tersebut langsung berdampak pada masa panen yang lebih cepat sehingga waktu tanam pun bertambah. Untuk itu, program kelistrikan tersebut turut mendukung Asta Cita Presiden Prabowo dalam mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan dan energi hijau.
Sejalan dengan komitmen itu, pihaknya tengah menargetkan memperluas EBT ke daerah terpencil lainnya di Lampung. Terutama di pulau-pulau terluar yang selama ini telah teraliri listrik lewat PLTD, seperti Pulau Pisang, Tabuan, Legundi, dan Sebesi.
Hal itu melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) komunal. Cara itu membuat daerah pelosok, kepulauan, dan pegunungan, bisa merasakan energi bersih secara lebih merata dan berkelanjutan. “Kalau SuperSUN kan kapasitas kecil, tetapi dengan PLTS Komunal bisa untuk beberapa pelanggan sekaligus,” kata dia.
Senada, General Manager PLN UID Lampung, Rizky Mochamad, mengatakan kehadiran SuperSUN di wilayah terpencil menjadi langkah konkret dalam mencapai target net zero emission 2060.
Selain itu, wujud komitmen dalam menyediakan energi bersih yang adil, merata, dan inklusif, khususnya di sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi lokal. “Energi ramah lingkungan merupakan fondasi penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Rizky.
Komitmen itu turut tercermin dari capaian distribusi listrik di Lampung yang memiliki kinerja penjualan tertinggi kedua secara nasional. Dia mencatat total energi listrik yang disalurkan sepanjang semester I 2025 mencapai 3.106,50 GWh. Angka itu menunjukkan pertumbuhan 213,35 GWh atau 7,37 % daripada periode yang sama tahun lalu (YoY).
Peningkatan itu didorong konsumsi listrik dari berbagai sektor, seperti bisnis tumbuh 11,04%, industri 10,88%, dan rumah tangga naik 6,23%. Sementara rasio elektrifikasi Lampung saat ini telah mencapai 99,84% dengan daerah yang belum terlistriki tersisa enam dusun.
Menurut dia, pembangunan infrastruktur kelistrikan secara merata hingga ke daerah terpencil turut berkontribusi dalam mewujudkan kemandirian ekonomi dan peningkatan kualitas hidup. “Sekaligus menghadirkan energi yang berdaulat dan berkelanjutan untuk seluruh masyarakat,” kata dia.








