Jakarta (lampost.co)– Buruh di Indonesia menerima kabar yang tidak menggembirakan pasca Lebaran tahun ini. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan ada gelombang kedua Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) efek kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Kebijakan berupa kenaikan tarif barang masuk ke Negeri Paman Sam itu semakin memperburuk kondisi sejumlah perusahaan. Menurutnya beberapa perusahaan berada dalam kondisi goyah dan sedang mencari format untuk menghindari PHK.
Dengan kebijakan tarif impor dari AS mulai 9 April 2025, perusahaan-perusahaan tersebut akan terjerembab lebih dalam.
“Ironisnya, hingga saat ini, belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengantisipasi dampak kebijakan tarif AS tersebut. Tidak ada kepastian atau strategi nasional untuk mencegah pengurangan produksi, penutupan perusahaan, atau PHK massal,” ucap Said, baru-baru ini
KSPI dan Partai Buruh mencatat industri-industri yang paling rentan terhantam gelombang kedua PHK meliputi industri tekstil, garmen, sepatu, elektronik, makanan dan minuman. Utamanya yang berorientasi ekspor ke AS, serta industri minyak sawit, perkebunan karet, dan pertambangan.
Dalam kalkulasi sementara Litbang KSPI dan Partai Buruh, ia mengungkapkan akan ada tambahan 50 ribu buruh yang ter-PHK dalam tiga bulan pasca tarif baru.
Lebih Mahal
Kenaikan tarif 32 persen membuat barang produksi Indonesia lebih mahal di pasar AS. Konsekuensinya, permintaan menurun, produksi berkurang, dan perusahaan efisiensi, termasuk PHK.
“Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor tekstil, garmen, sepatu, elektronik, dan makanan-minuman umumnya adalah milik investor asing, bukan domestik. Karena itu, jika situasi ekonomi tidak menguntungkan, investor asing dengan mudah bisa memindahkan investasinya ke negara lain. Yang memiliki tarif lebih rendah dari Amerika,” ujarnya.
Namun, Said menduga tidak semua investor asing akan hengkang. Investor dari Taiwan, Korea, dan Hong Kong, yang selama ini mendominasi sektor tekstil di Indonesia, mungkin akan tetap memproduksi di Indonesia, tetapi dengan brand atau merk dari negara lain seperti Sri Lanka.