Dian Wahyu Kusuma
Tanggal 23 Oktober 2020 menjadi hari yang penting bagi Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (Gapoktan HKm) Margorukun di Kecamatan Ulubelu, Kabupaten Tanggamus Lampung. Hari itu mereka mendapatkan penghargaan program kampung iklim nasional yang diadakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di mana Lampung mendapatkan juara ketiga setelah Aceh dan Jawa Barat.
Pencapaian ini tak ayal membuat anggota Gapoktan HKM Margorukun amat bangga meski awalnya mereka tak begitu yakin akan meraih prestasi itu. Sekretaris Gapoktan HKm Margorukun Parwoto mengatakan indikator penilaian kampung iklim meliputi beberapa aspek, termasuk terjaganya sumber air, perkebunan, dan mikrohidro. “Kami presentasi apa adanya saja tentang keadaan desa Ngarip. [Juri menilai] kita masih kurang di aspek daur ulang sampah” ujar Parwoto, Selasa (17/11/2020).
Prestasi Gapoktan HKm Margorukun tidak terlepas dari usaha para anggotanya yang sebagian besar adalah petani kopi dalam mengusahakan wanatani atau agroforestri melalui skema perhutanan sosial.

Foto Dokumentasi Gapoktan Margorukun, Ulubelu, Tanggamus
Wana Tani
Anggota Gapoktan HKm Margorukun sudah akrab dengan istilah wanatani sejak lama. Petani di Kecamatan Ulubelu mendapat izin mengelola hutan di sekitar mereka tinggal dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2009. Di bawah izin Hutan Kemasyarakatan, mereka dapat mengusahakan wanatani di hutan tersebut selama 35 tahun.
Hutan Kemasyarakatan adalah salah satu skema perizinan di bawah konsep perhutanan sosial, di mana masyarakat atau kelompok petani diberikan izin untuk membuat usaha non-kayu di hutan. Selain menjaga hutan, konsep ini diharapkan tidak menghilangkan penghidupan masyarakat.
Salah satu anggota Gapoktan HKm Margorukun, Zainal, mengatakan petani menanam 200 pohon naungan dalam satu hektar selain tanaman kopi seperti yang disyaratkan oleh skema perhutanan sosial.
Dia menambahkan konsep hutan kemasyarakatan ini mendapat perhatian dari pemerintah. Masyarakat di Desa Ngarip, misalnya, dibebaskan menanam berbagai jenis pohon naungan yang bermanfaat bagi petani. Mereka menyemai benihnya dan bibitnya kemudian dibeli oleh kementerian. Zainal mengatakan cara ini adalah salah satu strategi untuk mengedukasi petani yang sudah mendapatkan izin agar mereka menjaga fungsi hutan tanpa harus kehilangan mata pencaharian.
Bermanfaat, Tapi Petani Belum Yakin
Sri Wahyuni, salah satu petani kopi di Kecamatan Ulubelu, menuturkan konsep wanatani diklaim membantu ekonomi keluarganya. Dalam setahun, misalnya, petani bisa memanen tanaman lain seperti cabai, pepaya, pisang dan rempah-rempah selain kopi.

Foto Lampung Post/ Dian Wahyu Kusuma
Hal ini membantu Sri selama pandemi Covid-19 yang mengakibatkan penurunan permintaan kopi Ulubelu. Di saat tersebut, ia mengandalkan penjualan komoditi lainnya seperti cabai rawit dan pisang yang bisa dipanen seminggu sekali. “[Kami] bisa panen pisang satu kwintal sekali panen,” kata Sri.
Namun, memberikan pemahaman akan sistem perhutanan sosial tidak mudah karena masih ada petani yang menolaknya. Koordinator Rumah Kolaborasi Warsito menjelaskan upaya ini selalu mendapat banyak pertanyaan dan kecemasan dari petani kopi, termasuk soal apakah tanaman kopi mereka bisa berbuah kalau ditanam dengan tanaman lain.
Warsito memiliki contoh sukses bahwa wanatani kopi telah lama berhasil di Lampung Barat. Salah satu pelaku suksesnya adalah Erfan, petani kopi di Sumber Jaya.
Pada ketinggian 991 meter dari permukaan laut [m dpl], Erfan menanam kopi yang diselingi tanaman sengon, lamtoro, alpukat, durian, pisang, lada, cabai rawit, dan empon-empon. Tanaman-tanaman ini dipilih karena kopi harus memiliki tanaman naungan yang lebih tinggi.
Kopi juga membutuhkan unsur hara mikro nitrogen yang bisa disuplai oleh akar tanaman legum.“Antara kopi dan naungan jangan sampai berebut unsur hara. Penanaman bisa kombinasi buah-buahan, tanaman kayu, juga kebun campuran,” ujar bapak tiga anak itu.
Kini Erfan bisa menikmati jerih payahnya: antara Juli hingga Oktober, saat jadwal panen raya, ia setidaknya mendapatkan tiga ton biji kopi kering dalam setiap hektar.
Di Ulubelu, Parwoto mengaku ia sering menghadapi penolakan dari sejumlah petani mengenai konsep perhutanan sosial ini. Untuk membuktikannya, ia bersama gapoktan membuat demplot atau lahan percontohan seluas dua hektar. Di lahan percontohan itu, mereka menanam tanaman kopi dikombinasikan dengan pohon lain seperti pohon jambe, makadam, durian, dan pisang. “Petani disini kalau belum dapat bukti belum mau mengikuti,” ujar Parwoto.
Sugeng Widodo, ketua HKm Margorukun di desa Ngarip, menambahkan jika diurus dengan baik, menanam kopi dengan tanaman lainnya justru bisa mendapat keuntungan lebih besar. “Cuma kadang masyarakat belum memahami itu,” ujar Sugeng. “Kami butuh waktu [untuk meyakinkan petani lainnya.]”
Membantu Iklim Mikro
Prof Rizaldi Boer, direktur eksekutif dari Pusat Manajemen Resiko dan Peluang Iklim Asia Tenggara dan Pasifik (CCROM-SEAP) Institut Pertanian Bogor, menjelaskan upaya petani untuk menanam kopi di dalam hutan tersebut mendukung reboisasi hutan melalui skema perhutanan sosial.
Salah satu manfaat yang dirasakan adalah kontribusinya terhadap kondisi iklim mikro di sekitar Ulubelu karena pohon-pohon yang ditanam tersebut menyerap karbon dioksida dari udara untuk disimpan dalam bentuk biomassa.
Pohon bertajuk besar juga bisa menyimpan cadangan air. “Ini bisa berfungsi untuk mitigasi bencana banjir,” kata Rizaldi.

Kepala Dinas Kehutanan Lampung Ruchyansyah saat diwawancarai wartawan Rabu, 4 November 2020.
Foto Lampung Post/ Dian Wahyu Kusuma
Peneliti iklim ini menjelaskan konsep kampung iklim dan wanatani di bawah perhutanan sosial ini dapat berkontribusi mengurangi kejadian iklim ekstrem seperti kekeringan. Selain penyerapan emisi oleh pohon, penggunaan kotoran ternak untuk pupuk organik juga mampu membantu mengurangi emisi gas rumah kaca karena petani tidak menggunakan pupuk urea yang melepaskan kadar gas nitrogen.
Sayangnya, belum ada pihak yang menghitung emisi yang diserap dari konsep perhutanan tersebut, seperti yang dikatakan oleh Kepala Dinas Kehutanan Lampung Ruchyansyah.