PENYAKIT sosial dan mengakar hingga ke tulang sumsum di negeri ini bernama pungutan liar (pungli). Dari tingkat nasional hingga daerah, dari urusan kantoran hingga jalanan, dunia industri hingga pendidikan, bahkan dari biaya anak lahir hingga kematian pun tidak lepas dari jeratan pungli. Praktiknya sangat sistematis sehingga tidak tersentuh penegak hukum.
Praktik pungli yang kerap terjadi di jalanan terungkap dalam sesi dialog pengemudi truk logistik dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Selasa (8/5). “Enggak terhitung, Pak. Kami tidak bisa berbuat apa-apa,” kata seorang sopir kepada Presiden.
Hadir ikut mendengarkan keluhan sopir adalah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Wakapolri Komjen Syafruddin.
Keluhan itu menggetarkan Istana. Mereka menyampaikan langsung pengalaman dipungut aparat dan preman kepada Presiden. Penampilan pengemudi truk yang datang dari Sumatera dan Jawa menghadap Presiden tidak mengikuti aturan protokoler Istana. Mereka menggunakan kaus, celana jins, dan juga sandal. Presiden Jokowi tidak ingin membebani sopir sehingga pakaiannya apa adanya.
Saya tantang sopir untuk melapor dengan bukti
Hanya saja diminta sopan dan rapi ketika masuk kompleks kepresidenan. Terungkap dalam dialog itu bahwa mereka tidak hanya diperas preman, juga aparat kepolisian dan Dinas Perhubungan. Biasanya terjadi karena muatan truk berlebih. “Polisi kalau minta kecil. Kalau Dishub dengan ancaman kalau tidak bayar, nanti mobil ditahan, dan dikandangkan,” kisah seorang sopir.
Masih keluhan sopir, para preman beraksi di Jalan Lintas Sumatera, Jakarta, dan Jawa. Di lintas Sumatera, daerah paling rawan pungli berada di Jambi sampai Medan. Di lintas timur Sumatera, pungli terjadi di Mesuji, Lampung. Preman mengenakan tarif dari Rp10 ribu hingga jutaan rupiah. Lewat jalan rusak dan rumah makan pun harus bayar.
“Kalau ndak bayar, kaca bisa dipecah, dipasang ranjau paku, bahkan ban disobek,” keluh pengemudi.
Baca Juga : https://lampost.co/epaper/refleksi/tegak-lurus/
Dalam menanggapi semua keluhan sopir, Jokowi memerintahkan Kapolri dan Menhub untuk memberantas pungli. “Oh punglinya preman, jalan mana lagi? Di Marunda? Cakung—Cilincing, Cikampek—Cirebon, terus mana lagi? Lampung mana? Lintas timur, oke biar dicatat Pak Wakapolri, Samarinda—Balikpapan, pungli petugas? Oke terus, Mesuji, Prabumulih. Semua harus disikat,” kata Presiden mengulang sahutan sopir.
Presiden juga menanyakan apakah masih terus terjadi pungli di jalan. Para sopir menjawab makin banyak bahkan kian marak apalagi menjelang puasa dan Hari Raya. Bahkan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar Pusat menyebutkan ada enam daerah yang menduduki urutan teratas—pengaduan pungli—yakni Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Timur, Banten, dan Lampung.
***
Keluhan Pungli
Tentang keluhan pungli, Wakapolri Syafruddin menantang 70 sopir yang bertemu Presiden untuk membuktikan pungli dari oknum polisi. ”Tidak ada anggota yang mau menerima pungli karena remunerasinya besar. Kalau terbukti, saya pecat. Saya tantang sopir untuk melapor dengan bukti,” kata dia.
Polisi saat ini tidak lagi berani melakukan pungli, berbeda 20 tahun silam ketika polisi banyak terlibat praktik pungli di jalanan.
Walaupun pemerintah sudah berkoar-koar agar tidak melakukan pungli, praktik jahat tidak membuat jera pelakunya, bahkan menjadi-jadi. Seakan satgas yang dibentuk hingga provinsi dan kabupaten/kota tidak ada tajinya. Seperti angin lalu. Jauh sebelumnya, pada 1977, Presiden Soeharto menunjuk Sudomo memimpin Operasi Tertib untuk memberangus pungli di negeri ini.
Hingga 1980, banyak pejabat tinggi hingga pegawai rendahan tersapu Operasi Tertib. Kini hal yang sama juga dilakukan Presiden Jokowi dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 87/2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Tim tersebut dipimpin langsung Menko Polhukam Wiranto.
Baca Juga : https://lampost.co/epaper/refleksi/aktivis-propaganda/
Setelah setahun bergerak, Tim Satgas Saber Pungli menangkap dan menetapkan 2.100 orang sebagai tersangka. Dari jumlah itu, sebanyak 1.200 di antaranya ditangkap melalui operasi tangkap tangan. Data yang masuk ke satgas terbanyak terkait pungli adalah sektor pelayanan publik yang mencapai 36%, disusul bidang hukum 26%, pendidikan 18%, perizinan 12%, dan kepegawaian 8%.
Praktik pungli bukanlah tindak pidana korupsi, melainkan dikategorikan pemerasan atau melanggar Pasal 368 KUHP. Pemberian uang oleh rakyat kepada petugas bukan dilantari sukarela, tetapi terpaksa. Oleh sebab itu sangat tepat jika kasus pungli dilakukan OTT karena berpengaruh pada kecepatan waktu penyidikan, jika dibandingkan pengungkapan kasus secara reguler.
Memberangus pungli membutuhkan energi dan sinergi antarlembaga. Ada persoalan yang harus dibenahi agar pungli tidak marak. Pengelola negeri ini haruslah melakukan perbaikan sistem pelayanan dengan daring. Lalu perbaikan mental dan budaya kerja aparat dan birokrat menjadi pelayan rakyat. Serta melakukan pengawasan secara berkala. Jika tidak, anak bangsa tak akan memenangi pertandingan melawan pungli. ***