
SEORANG anggota wakil rakyat di Senayan curhat, kondisi parlemen sudah tidak menggembirakan dan menggairahkan lagi. Mereka pada sibuk masing-masing. Ada yang ingin mencalonkan lagi menjadi anggota legislatif, serta tim sukses calon presiden dan kepala daerah. Kalau ada rapat dengar pendapat dan paripurna, terlihat kursi kosong tanpa penghuni. Hanya ada papan nama wakil rakyat di meja yang menunggunya 24 jam.
Kursi itu akan diperebutkan dalam tahun politik 2019. Untuk merebut bukan hal yang mudah. Gampang-gampang susah. Banyak yang menggoda. Godaan uang. Godaan berteman dalam berkoalisi untuk mengusung calon pemimpin negara. Memang konstelasi Pemilihan Presiden 2019 sudah sangat terasa hiruk-pikuknya. Joko Widodo dan Prabowo Subianto akan kembali naik ring. Siapa pendampingnya? Masih bersembunyi.
Joko Widodo atau Jokowi menjadi magnet bagi partai-partai politik untuk mendukungnya kembali menjadi presiden di negeri ini. Partai politik pun berlomba-lomba mengajukan nama Jokowi bersama calon pendamping; ada tanpa syarat, ada juga minta dengan syarat. Persoalannya, apakah partai yang mendukung itu berkenan di hati rakyat atau sebaliknya?
Tidak terkecuali Prabowo Subianto. Mantan Danjen Kopasus juga Panglima Kostrad itu diam-diam partai besutannya, Gerindra, mendeklarasikan Prabowo sebagai calon presiden. Ada sejumlah nama calon wakil presiden yang akan mendampinginya.
Jokowi dan Prabowo adalah anak bangsa yang sangat bersahabat, bahkan mereka sempat berkuda dengan memakai topi koboi di kediaman Prabowo di Hambalang, pada 31 Oktober 2016.
Kalaulah Jokowi dan Prabowo bersatu, berangkulan menuju Pilpres 2019 dalam kapal besar, negeri ini sudah selesailah tugas besar nanberat itu untuk membangun demokrasi bangsa yang bermartabat. Namun partai pendukung berharap, Jokowi maju tanpa Prabowo sebagai wakil presiden. Begitu juga Prabowo, dia memilih calon wakil dari tokoh berpengaruh.
Tidak cukup Jokowi dan Prabowo. Ada mainan dari partai tengah membuat poros baru dengan memunculkan calon alternatif. Itu sah-sah saja. Sebab untuk menentukan calon pemimpin negeri ini, ada sekian banyak faktor yang harus menjadi pertimbangan. Bak bermain catur dan bukan sulap. Sebab presiden yang bakal memimpin negara yang besar ini, harus memiliki basis konstituen yang jelas serta rekam jejak yang baik.
Jika tidak, dia seperti membuang garam ke laut. Tidak arti sama sekali. Calon pemimpin bangsa juga harus matang. Tidak kemaruk dengan duit rakyat, bisa mengendalikan emosi, tidak ada campur tangan dan intervensi dari keluarga. Memiliki visi-misi jangka panjang yang jelas. Sosok Jokowi, dibilang sederhana karena dia sudah memiliki modal untuk berkampanye guna melanjutkan pekerjaan yang belum selesai.
Berhitung
Saatnya calon pemimpin dan tim sukses berhitung cermat dan cerdas. Sebab mesin kendaraan yang ingin membawa pasangan calon harus dapat mengakomodasi aspirasi anak-anak bangsa dari ujung Banda Aceh hingga Tanah Papua. Setidaknya, ada empat pertimbangan dalam menentukan calon pemimpin negara dan daerah. Pertama, pertimbangan elektabilitas calon karena pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Kedua, adalah aktor politik di balik partai pendukung calon presiden. Seperti Surya Paloh, sang ketua umum Partai NasDem yang pertama kali memproklamirkan pencalonan Jokowi untuk keduanya kali. Lalu disusul Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapimnas Partai Demokrat yang ingin ikut bergabung dalam pencalonan tersebut.
Penentu terakhir dari pencalonan itu adalah kesiapan logistik dan sumber daya manusia. Banyak yang gagal menjadi pemimpin ketika syarat ketiga ini tidak terpenuhi. Namun sang calon dan tim sukses tidak kehabisan akal; dengan elektabilitas tinggi tadi, memungkinkan bisa menarik para donatur untuk menyumbangkan dana kampanye dan sosialisasi ke konstituen.
Banyak calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tersandung kasus suap dan gratifikasi akibat berambisi maju di pilkada. Mereka tidak memiliki dana yang cukup, akhirnya menggarong duit rakyat. Banyak pakar politik berpendapat, elektabilitas merujuk pada kekuatan calon dalam menggaet simpati rakyat. Simpati itu datang karena kharisma, popularitas, serta reputasi bersih dari korupsi dan kolusi.
Walaupun ketiga syarat itu terpenuhi, anak-anak bangsa ternyata masih juga terseret isu politik identitas yang menjegalnya. Pertarungan tiket calon presiden dan calon wapres itu, partai bermanuver memasang tarif meraih rekomendasi. Jika di pilkada, satu rekomendasi partai dihargai puluhan miliaran rupiah. Kalau di tingkat pilpres pasti ada kesepakatan pembagian kekuasan di kabinet dan parlemen jika menang pemilihan.
Politikus di tahun politik banyaklah bermanuver mencari posisi aman. Dapat duit, dapat juga jabatan. Itulah politik instan. Patut diingatkan, anak-anak bangsa yang menjadi pemilih di pilkada, pilpres, juga pemilihan legislatif tidak terjebak oleh kepentingan sesaat dan jangka pendek. Jika sudah tersesat, negeri ini sulit kembali berbenah karena butuh waktu dan energi . oleh sebab itu, jangan salah pilih! ***