
MELIHAT tayangan berbagai televisi sepekan terakhir ini, hanya bisa berdoa semoga negaraku tidak panik menghadapi meningginya angka kematian akibat pandemi Covid-19. Ruang rawat inap di rumah sakit penuh sesak, antrean jenazah yang dimandikan, dan banyak petugas pemakaman kelelahan yang menguburkan puluhan pasien virus corona setiap harinya.
Kalau sudah begini, kapan berakhirnya wabah Covid-19? “Setiap jam, mobil ambulans lalu lalang, meraung-raung bunyi sirine membawa pasien. Ngeri sekali,” kata Najib (53) di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Kamis (17/6). Tinggi angka penularan dan kematian itu karena masyarakat ngeyel –bebal dengan bahaya virus. Sudah tahu dilarang mudik. Masih juga tetap mudik!
Ini bisa dilihat dari jutaan warga yang nekat kembali mudik Lebaran di saat transmisi corona varian baru. Tidak itu saja, parahnya lagi aparat tidak tegas dalam menerapkan berbagai peraturan. Warga memilih mudik lebih awal dan kembali lagi setelah peraturan larangan mudik tidak berlaku.
Di Bakauheni—Merak, contohnya. Dan Bangkalan, Madura. Sudah tahu ada penyekatan agar tidak terjadi menyebarkan virus , tapi warga masih saja menolak bahkan merusak fasilitas pos check point. Ini kan tidak mau diatur. Faktanya, Koalisi Masyarakat Madura Bersatu berunjuk rasa di depan Balai Kota Surabaya. Mereka itu memprotes peraturan Wali Kota, Eri Cahyadi yang melakukan penyekatan di kawasan Suramadu.
Aksi massa berdesak-desakan dan tidak memakai masker memang sangat kontradiktif. Di tengah-tengah tingginya angka penyebaran Covid-19 di bumi Majapahit itu, pendemo menebar sejumlah poster yang bertuliskan “Hentikan penyekatan yang diskriminatif”. “Wali Kota Surabaya harus minta maaf ke warga Madura”, “Di Madura enggak ada corona, yang ada markona”.
Pendemo mengatasnamakan warga Madura itu juga mendesak pemerintah tidak memberlakukan swab test antigen di Suramadu. Nyali untuk menangani virus sudah tidak ada lagi. Padahal tes swab, salah satu cara memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Jadi sangat wajar jika ada warga di Bangkalan, Madura, banyak yang terpapar virus corona.
Aksi massa berdesak-desakan dan tidak memakai masker memang sangat kontradiktif.
Negara harus hadir menegakkan peraturan! Jangan kalah dengan kelompok mengatasnamakan masyarakat yang mengambil keuntungan sesaat. Hari ini, sejumlah negara asing mengingatkan warganya, dan menolak keras kedatangan pesawat terbang dari Indonesia. Apalagi mereka mengetahui negeri ini tengah menghadapi serangan virus baru corona—varian delta.
Sikap abai dan tidak peduli dan diperparah lagi adanya varian baru yang cepat menular–membuat panik warga dan tenaga kesehatan di sejumlah fasilitas medis. Jika pada Januari—Februari lalu adalah gelombang pertama puncak pandemi, kini berada di fase kedua virus akan lebih gila lagi.
Para pakar epidemiologi berpendapat wabah Covid-19 selama dua pekan terakhir ini belum mencapai puncak dan fase terburuk. “Prediksi fase kritis akan dialami setelah puncak pada akhir Juli nanti,” kata epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, pekan ini.
Dia menyoroti angka positivity rate corona sudah di atas 40% menandakan penularan Covid-19 luar biasa tingginya. Jika pemerintah tidak menerapkan lockdown, perlulah pengontrolan ketat bekerja di rumah saja dipatok 75% serta pengetatan PPKM skala mikro dipastikan harus berjalan. Sekali lagi, negeri ini diingatkan harus membuat skenario terburuk.
***
Menghadapi lonjakan pasien yang terpapar Covid-19, kalangan pengamat kesehatan mendesak pemerintah memberlakukan lockdown. Kode keras itu diambil—gawat darurat kesehatan itu setelah kasus corona kian liar sementara cakupan vaksin di daerah masih sangat rendah.
Desakan lockdown itu pun ditanggapi langsung Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Menurut dia, sejatinya apa pun nama kebijakannya, apakah PPKM mikro, PSBB, lockdown, esensi bukan namanya. “Intinya bagaimana bisa mengurangi mobilitas, dan mengurangi pergerakan,” kata Budi.
Akan tetapi, guru besar bidang sosiologi bencana Universitas Teknologi Nanyang Singapura, Prof Sulfikar Amir, memaklumi pemerintah belum menerapkan lockdown. Karena kondisi keuangan, dan belum maksimalnya PPKM mikro. Itu pun diakui Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Tuntutan lockdown itu sangat beralasan karena Covid-19 sudah bermutasi ke varian baru. Bahkan, sudah menyerang anak-anak. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengingatkan orang tua agar serius menjaga anak-anak termasuk balita. Sebab, situasi wabah hari ini sangat berbeda dengan awal tahun kemarin. Varian baru mudah menular termasuk kepada anak-anak.
Tuntutan lockdown itu sangat beralasan karena Covid-19 sudah bermutasi ke varian baru.
Di Ibu Kota negara tercatat pada Minggu lalu (20/6), sebanyak 5.582 orang positif Covid-19. Dari jumlah itu, sebanyak 655 kasus adalah anak usia 6—18 tahun, 224 kasus adalah usia 0—5 tahun atau balita. Sisanya 4.261 kasus baru di usia 19—59 tahun, dan 442 kasus berusia 60 tahun ke atas.
Dan anak buah Anies, yakni Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dwi Oktavia memaparkan tren kasus positif aktif pada anak di bawah usia 18 tahun terus bertambah. Dari 7.505 pertambahan kasus baru Covid-19, ternyata 15% di antaranya adalah anak-anak. Perinciannya adalah 830 kasus adalah anak usia 6—18 tahun dan 282 kasus adalah anak usia 0—5 tahun.
Sedangkan sisanya yakni 5.775 kasus adalah di usia 19—59 tahun dan 618 kasus berusia 60 tahun ke atas. Melihat kenaikan angka yang menyerang anak-anak, seharusnya orang tua ikut menjaga buah hatinya lebih ketat, dan menghindari keluar rumah dengan membawanya ke mana-mana.
Seperti apa yang disampaikan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahwa lonjakan angka pasien anak-anak ini, harus jadi kajian mendalam bagi lembaga pendidikan yang menggelar pembelajaran tata muka (PTM) pada 12 Juli mendatang. Ingat! Anak berpotensi terinfeksi corona. Buatlah skema dengan berbagai batasan sehingga tidak menjadi klaster baru.
Tekad menyelamatkan nyawa generasi penerus harus jadi ikhtiar bersama. Caranya adalah berupaya sekuat tenaga mencegah penyebaran Covid-19 di kalangan anak-anak. Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) sudah diatur bahwa hak hidup berada di nomor satu, disusul nomor dua adalah hak sehat, dan di nomor tiganya hak pendidikan. Artinya, paling utama anak-anak itu memiliki hak mendapatkan hidup dan sehat di atas bumi ini. ***