![Iskandar Zulkarnain Wartawan Lampung Post](https://lampost.co/epaper/wp-content/uploads/2018/05/Iskandar-150x150.jpg)
USAI sudah pesta rakyat. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 itu digelar di 171 daerah provinsi, kabupaten/kota. Pesta menghabiskan Rp20 triliun.
Perhelatan sangat melelahkan. Lima bulan (Februari—Juni), bukan waktu yang sebentar menata perhelatan demokrasi. Pesta yang menggerakkan seluruh kekuatan ini harus memberi manfaat bagi bangsa.
Di Bumi Ruwa Jurai ini ada tiga pesta rakyat, yakni pemilihan gubernur dan wakil gubernur Lampung. Pemilihan bupati dan wakil bupati Tanggamus dan Lampung Utara (Lampura). Semua berjalan lancar.
Pemilihan gubernur (Pilgub) Lampung itu diikuti empat pasangan calon (paslon), yakni M. Ridho Ficardo-Bachtiar Basri, Herman HN-Sutono, Arinal Djunaidi-Chusnunia Chalim, dan Mustafa-Ahmad Jajuli.
Di Tanggamus, hanya ada dua pasangan calon, yakni Dewi Handajani-AM Syafi’i dan Samsul Hadi-Nuzul Irsan. Sementara di Lampura diikuti Zainal Abidin-M Yusrizal, Aprozi Alam-Ice Suryana, dan Agung Ilmu Mangkunegara-Budi Utomo. Hasil penghitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei menempatkan pasangan Arinal-Chusnunia di peringkat teratas. Sementara Pilkada Tanggamus ditempati Dewi Handajani-AM Syafi’i dan di Lampura diraih Agung Ilmu Mangkunegara-Budi Utomo.
Hitung Cepat
Ini baru perhitungan cepat. Belum perhitungan resmi (real count) yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Siapa pun pemenangnya–hasil real count nanti, boleh bersukacita merayakan kemenangan karena berhasil meminang suara rakyat.
Pemenang tidak perlu jemawa, apalagi menghabisi calon yang kalah. Bagi peserta yang kalah–harus menerima kekalahan. Tapi, menerima kekalahan itu amatlah sulit. Hanya orang-orang yang berjiwa besar yang mampu menundukkan hati dan nafsu menerima kekalahan. Yang pasti, kekalahan yang diterima itu bukan karena dicurangi. Itu sebuah proses. Alam mengaturnya.
Setiap kompetisi apa pun, akan menghasilkan juara dan tidak juara. Begitu juga pilkada kemarin. Hanya satu calon yang keluar sebagai pemenang. Hanya mereka yang mendapat suara terbanyak dari rakyat yang menjadi juara.
Pilkada serentak kali ini serasa pertarungan pemilihan presiden (pilpres). Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut hasil pilkada yang digelar 171 daerah ini berpengaruh pada Pilpres juga Pemilu Legislatif (Pileg) 2019. Tidak terhindar jika dikatakan bahwa pilkada kemarin sebuah mesin pemanasan untuk partai menghadapi pesta 2019.
Presiden keenam Indonesia itu berpendapat partai pengusung calon yang memenangi pilkada belum tentu menang di Pileg 2019. Jika calon yang menang menunjukkan kinerja yang baik, akan berpengaruh positif terhadap partai pengusung. “Superstar-nya itu calon bupati, calon wali kota, calon gubernur dan wakilnya, bukan partai politiknya,” kata SBY pada hari pencoblosan, Rabu (27/6/2018) lalu.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/juara-pilkada/
Bagaimana pendapat Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto? Mantan Danjen Kopassus itu tidak mencemaskan hasil Pilkada serentak 2018 akan berpengaruh pada Pilpres dan Pileg 2019. “Intinya, demokrasi itu sangat dinamis. Setiap saat berkembang,” kata Prabowo pada saat hari pencoblosan. Dia sepakat hasil pilkada juga penentu demokrasi.
Prabowo mengatakan jika semua proses pilkada dapat berjalan dengan baik dan aman, rakyat mendapat pemimpin yang baik pula. Peran partai politik sangat baik dalam menghasilkan seorang pemimpin, apalagi komunikasi elite yang baik berbuah pada koalisi menyakinkan rakyat.
Kejutan
Hasil Pilkada serentak 2018 juga membuat banyak kejutan. Kali ini, Partai NasDem patut berbangga. Partai besutan Surya Paloh memenangi 11 dari 17 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Yang jelas kemenangan itu merupakan modal untuk menyambut pesta yang lebih besar lagi, yakni Pileg dan Pilpres 2019. Itu puncak dari pesta demokrasi di negeri ini.
NasDem menang banyak dalam pilkada serentak diukur pada kinerja kader dalam menyampaikan gagasan dan pikiran partai. “Di samping strategi, kajian, pendekatan yang rasional, moralitas politik tanpa mahar turut memengaruhi hasil yang diperoleh partai,” ujar Paloh. Bangsa ini harus belajar dari tokoh dunia dalam mengelola negara menegakkan demokrasi.
Lalu bagaimana dengan nasib PDI Perjuangan (PDIP)? Perhelatan kemarin, partai besutan Megawati Soekarnoputri ini terpuruk di sejumlah daerah. Bahkan, pasangan calon asal PDIP dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwako) Makassar, Sulawesi Selatan, harus menelan kekalahan dalam melawan kotak kosong. Sungguh tragis nasib partai moncong putih kali ini!
Paling tidak, kata banyak kalangan pengamat, kekalahan itu disebabkan figur yang tidak kuat yang diusung partai. PDIP menang di empat provinsi, yakni Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Maluku. Untuk Lampung, cagub dari PDIP hanya menempati posisi kedua hasil perhitungan cepat. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan kekalahan partainya di 11 pilgub tahun ini harus dievaluasi baik dari strategi maupun komunikasi politik.
Dari banyak kekalahan pilkada kemarin, PDIP yang tengah berkuasa di republik hari ini, harus melakukan koreksi total. Peneliti CSIS Philips Vermonte berpendapat PDIP sebagai partai pemerintah lebih banyak mendapat tekanan psikologis. Tetapi PDIP selalu berhasil menciptakan momentum yang berujung pada kemenangan di pemilu.
Seperti jargon partai wong cilik pada 1999, berujung PDIP memenangi pemilu. Tahun 2014, PDIP unggul di pemilu ketika mengusung Jokowi. Gubernur Jakarta ini lebih banyak mengedepankan pelayanan publik, transparansi, dan antikorupsi dalam pemerintahan. Keberhasilan itulah membawa Jokowi menuju kursi presiden. Walaupun dia bukanlah berdarah biru baik dari status sosial maupun karier politik di partai. ***