Lampungpost.id: BADAN Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menilai banyaknya pasal pidana dalam Undang- Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang bisa multitafsir dan tidak aplikatif. Hal itu menjadi salah satu problematika dalam menangani tindak pidana pemilu.
“Banyaknya norma pidana dalam UU Pemilu, mengindikasikan bahwa pembuat kebijakan lebih mengutamakan penanganan pidana (premium remedium) sebagai cara menanggulangi ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu,” kata Anggota Bawaslu Puadi dalam keterangannya, Selasa (20/6).
Padahal menurut Puadi, penerapan sanksi administratif atau sanksi etik pada kasus-kasus tertentu bisa lebih efektif daripada mengunakan sanksi pidana.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi Bawaslu itu mencontohkan, salah satu kasus yakni terkait PPS (Panitia Pemungutan Suara) yang tidak mengumumkan DPS (daftar pemilih sementara) sesuai Pasal 489 UU Pemilu atau kampanye di luar jadwal yang diatur Pasal 492 UU Pemilu.
“Sanksi pidana seharusnya menjadi langkah terakhir (ultimum remedium) apabila sanksi administratif maupun etik sudah ada penerapannya, namun perbuatan kembali terulang,” ungkap dia.
Puadi menambahkan, meski banyak pasal pidana dalam UU Pemilu 7/2017, akan tetapi, tren pelanggaran dalam pemilu atau pemilihan (pilkada) selalu berulang. Puadi mencontohkan pelanggaran tersebut di antaranya politik uang, kepala desa yang tidak netral, atau praktik mencoblos lebih dari sekali.
“Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan pidana kurang efektif,” ujarnya. (MI/L1)





