TANGGAL 9 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Surat Menyurat Internasional atau World Post Day. Hari ini diperingati sebagai bentuk penghargaan terhadap perkembangan komunikasi pos, yang dulu merupakan satu-satunya cara untuk menghubungkan manusia di seluruh dunia sebelum era digital. Meskipun teknologi modern telah menggantikan peran surat dalam komunikasi, surat-menyurat memiliki sejarah yang panjang dan penuh kontribusi dalam mempererat hubungan antarindividu dan negara.
Di Indonesia, khususnya di Lampung, yang sudah memiliki peradaban tulis-menulis (Baca juga Opini Lampung Post, 9/9/2024). Surat-menyurat memiliki kisah tersendiri, salah satunya melalui korespondensi Herman Neubronner van der Tuuk pada akhir abad ke-19. Dalam tulisan ini, akan dijelaskan pentingnya surat sebagai alat komunikasi masa lalu dan refleksi terhadap peranannya dalam sejarah pos di Lampung dan dunia.
Surat-menyurat sebagai alat komunikasi memiliki peran vital dalam sejarah peradaban manusia. Sejak zaman dulu, surat sudah digunakan oleh berbagai peradaban sebagai media komunikasi jarak jauh. Pada era Sultan Baghdad Nuruddin pada abad ke-12, burung merpati digunakan sebagai pembawa pesan yang dapat menghubungkan berbagai bagian kerajaan. Masa Dinasti Mamluk Mesir (1250 M—1517 M) juga menggunakan merpati sebagai pengirim pesan rahasia ketika berperang melawan bangsa Mongol.
Metode ini masih digunakan hingga Perang Dunia I oleh militer Amerika Serikat. Namun, seiring waktu, penggunaan burung merpati mulai tergantikan dengan sistem kurir yang lebih efisien, seperti kurir yang berjalan kaki atau menunggang kuda (Osman 1928). Pada abad ke-17 dan ke-18, berbagai negara mulai menciptakan sistem pengiriman pos nasional, dan pada 1874 berdirilah Universal Postal Union (UPU) di Bern, Swiss, yang memperkenalkan standar global untuk pengiriman surat internasional. Hari Surat Menyurat Internasional yang kita peringati pada tanggal 9 Oktober pun menandai berdirinya UPU dan menjadi simbol penting dalam sejarah komunikasi dunia.
Di Indonesia, surat-menyurat telah menjadi bagian dari interaksi sosial sejak masa kolonial. Pada abad ke-19, sistem pos di Hindia Belanda (Indonesia) berkembang pesat. Salah satu tokoh yang memiliki hubungan erat dengan sejarah pos dan bahasa di Indonesia, khususnya Lampung, adalah Herman Neubronner van der Tuuk. Van der Tuuk, seorang orientalis dan ahli bahasa Belanda, dikenal melalui korespondensinya saat menetap di Lampung pada tahun 1868-1869. Dalam surat-suratnya, Van der Tuuk tidak hanya menulis tentang pekerjaannya sebagai peneliti bahasa, tetapi juga menggambarkan kondisi sosial, budaya, dan politik di Lampung pada saat itu (Arman Az 2020).
Menurut buku Surat-Surat dari Lampung oleh Arman AZ, Van der Tuuk mengirim banyak surat kepada rekan-rekannya di Batavia dan Belanda selama masa tinggalnya di Lampung. Salah satu korespondensi pentingnya terkait dengan pengamatan dan penelitiannya tentang bahasa Lampung.
Selain surat Van der Tuuk, sejarah layanan pos di Indonesia dimulai dengan sistem pos tradisional yang dikenal sebagai pos estafet. Surat-surat diantarkan oleh kurir yang menempuh perjalanan jauh dengan berbagai alat transportasi sederhana seperti berjalan kaki atau naik kuda. Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda membangun jaringan pos yang lebih terstruktur.
Pada 1864, dibuka Kantor Pos di Batavia sebagai bagian dari jaringan pos yang lebih luas di Hindia Belanda. Pengiriman surat mulai lebih mudah diakses oleh penduduk lokal maupun penduduk Eropa yang tinggal di Indonesia. Surat-surat dikirim antarwilayah dengan waktu yang relatif cepat, tergantung jarak dan rute yang dilalui.
Pada masa itu, surat-menyurat menjadi alat utama dalam komunikasi resmi maupun personal. Para pejabat pemerintah, pedagang, dan individu dari berbagai kalangan menggunakan layanan pos untuk berbagai keperluan, termasuk administrasi pemerintahan, perdagangan, serta komunikasi antar keluarga. Sistem pos ini sangat penting bagi pemerintahan kolonial dalam mengelola wilayah yang luas dan terpencil seperti Indonesia. Bahkan, setelah Indonesia merdeka, sistem pos tetap menjadi bagian vital dalam membangun komunikasi antar wilayah Nusantara.
Di Lampung, keberadaan layanan pos memberikan dampak signifikan dalam proses pertukaran informasi. Korespondensi Van der Tuuk pada 1868—1869 menunjukkan bahwa sistem pos yang ada saat itu cukup berkembang dan menjadi sarana yang andal untuk pengiriman surat-surat penting. Salah satu contohnya adalah surat-surat Van der Tuuk yang dikirim dari Teluk Betung ke Batavia, yang berisi hasil penelitian bahasa dan budaya Lampung.
Dalam surat-suratnya, Van der Tuuk banyak menulis tentang bahasa Lampung dan tantangan yang dihadapi dalam melakukan penelitian di daerah tersebut. Melalui surat-menyurat inilah, kita dapat memahami bagaimana peran pos dalam mendukung penyebaran ilmu pengetahuan dan pemahaman budaya lokal di masa lalu.
Meskipun teknologi modern seperti surat elektronik (e-mail) dan pesan instan telah menggantikan peran surat pos dalam komunikasi sehari-hari, peran surat tetap tidak bisa diabaikan. Surat-surat memberikan bukti sejarah yang autentik tentang kondisi sosial, politik, dan budaya pada masa itu. Dalam konteks Lampung, surat-surat Van der Tuuk memberikan wawasan tentang bagaimana Lampung dilihat dari sudut pandang seorang peneliti Eropa pada akhir abad ke-19. Melalui surat-surat ini, kita dapat mempelajari tidak hanya tentang bahasa Lampung, tetapi juga interaksi sosial dan dinamika budaya di Lampung pada masa kolonial.
Peringatan Hari Surat Menyurat Internasional pada tanggal 9 Oktober setiap tahun mengingatkan kita akan pentingnya surat sebagai alat komunikasi yang pernah memegang peranan vital dalam sejarah umat manusia. Meskipun surat telah tergantikan oleh teknologi modern, surat-menyurat tetap menjadi bagian dari warisan sejarah komunikasi, terutama di Indonesia dan Lampung. Korespondensi tokoh-tokoh seperti Herman Neubronner van der Tuuk di Lampung membuktikan bahwa surat tidak hanya berfungsi sebagai media komunikasi personal, tetapi juga sebagai alat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pemahaman budaya.
Refleksi ini menunjukkan bahwa meskipun teknologi terus berkembang, penting untuk mengenang dan menghargai peran surat-menyurat sebagai jembatan yang pernah menghubungkan manusia di berbagai belahan dunia. Sejarah surat-menyurat di Indonesia, termasuk di Lampung, memperlihatkan bagaimana surat dapat menjadi saksi bisu dari perubahan sosial, budaya, dan politik yang terjadi di masa lalu.
Dengan memahami sejarah ini, kita dapat mengkaji lebih dalam dan menghargai perjalanan panjang komunikasi manusia yang telah membantu membangun peradaban dan menyatukan berbagai komunitas di seluruh dunia. *