TREN menurunnya laju inflasi Lampung tahun 2024 menimbulkan kekhawatiran atas melemahnya daya beli masyarakat. Rerata inflasi bulanan di Provinsi Lampung hingga September 2024 tercatat 0,05% (mtm), dengan deflasi pada bulan Januari, April, Juni, dan Juli. Kekhawatiran ini memang nyata adanya, tetapi kita perlu memahami dinamika ini lebih dalam. Tulisan ini bermaksud mengonfirmasi penyebab tren penurunan harga barang dan jasa ini, apakah dipicu pelemahan daya beli atau sebenarnya tengah terjadi stabilisasi harga?
Dari 3,47% (yoy) pada tahun 2023, inflasi Lampung tahun 2024 turun ke 2,16% (yoy) hingga September 2024. Penurunan ini sebenarnya masih dalam batas wajar karena masih terjaga dalam rentang sasaran inflasi tahun 2024, 2,5±1% (yoy). Berdasarkan sumbernya, penyebab utama dinamika tersebut adalah penurunan harga bahan pangan, terutama beras, cabai merah, dan bawang merah.
Kita perlu mengapresiasi keberhasilan sinergi Pemerintah Pusat dan daerah dalam upaya stabilisasi harga pangan. Harga beras telah berada di bawah harga eceran tertinggi (HET), dengan level harga yang masih menguntungkan petani. Hal ini dibuktikan dengan nilai tukar petani (NTP) subsektor tanaman pangan yang masih terjaga di atas 100, artinya penerimaan petani kelompok ini masih lebih besar dibandingkan pengeluarannya.
Sementara itu, harga cabai merah dan bawang merah hingga September 2024 turun hingga lebih rendah dari harga acuan pemerintah (HAP). Tentu ini memberikan disinsentif kepada petani. Meski demikian, yang perlu kita cermati adalah volatilitas harga dari komoditas tersebut. Harga komoditas hortikultura ini dapat sewaktu-waktu mengalami penurunan atau kenaikan, bahkan cukup ekstrem.
Oleh karena itu, ketersediaan pasokan perlu diprioritaskan, itulah yang dilakukan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Terjaganya pasokan komoditas ini diharapkan mampu menahan gejolak kenaikan harganya kelak, misalnya ketika terjadi gangguan panen akibat kondisi cuaca yang kurang bersahabat.
Selain komoditas bahan pangan tadi, mayoritas barang dan jasa di Lampung masih mengalami inflasi dengan tingkatan yang wajar (terjaga dalam sasaran inflasi). Inflasi terjadi untuk kelompok komoditas pakaian, alas kaki, pendidikan, dan jasa. Artinya, roda perekonomian masih bergulir. Ketenagakerjaan Lampung pada Februari 2024 juga menunjukan perbaikan, terutama tenaga kerja formal yang sebelumnya tertekan cukup dalam oleh pandemi Covid 19.
Seiring dengan harga komoditas ekspor yang meningkat, seperti minyak kelapa sawit dan kopi robusta, serapan tenaga sektor industri pengolahan mengalami perbaikan. Hal ini tentunya menjadi modal kuat bagi masyarakat dalam beraktivitas dengan daya beli yang membaik.
Selain serapannya yang membaik, pendapatan masyarakat tahun 2024 juga dalam tren meningkat. Berdasarkan statistik ketenagakerjaan BPS Februari 2024, pendapatan pekerja (karyawan/buruh dan pekerja bebas) meningkat 9,25% dibandingkan Februari 2023. Capaian tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan laju inflasi yang tengah terjadi. Sementara itu, pendapatan masyarakat yang berusaha sendiri meningkat lebih tinggi, mencapai 18,65% (yoy).
Perbaikan daya beli juga ditunjukkan oleh tren positif intermediasi perbankan. Dana pihak ketiga (DPK) perbankan di Provinsi Lampung mengalami peningkatan 8,81% (yoy) pada triwulan III 2024, begitu pun penyaluran kredit yang meningkat 13,13% (yoy). Peningkatan ini menunjukkan adanya peningkatan pendapatan (tabungan) masyarakat seiring dengan ekspansi usaha dan aktivitas konsumsi. Peningkatan penyaluran kredit terutama didorong oleh kredit korporasi, diikuti kredit perseorangan dan UMKM.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri memang pelemahan daya beli terjadi pada beberapa kelompok masyarakat. Aktivitas ekonomi yang berangsur normal menjadi pemicu melemahnya lonjakan besar permintaan pada sektor-sektor berbasis mobilitas dan telekomunikasi. Fenomena travel revenge dalam berwisata setelah lockdown akibat pandemi Covid 19 mulai mereda. Selain itu, keleluasaan dalam beraktivitas juga menurunkan permintaan telekomunikasi yang sebelumnya melonjak tinggi pada 2021– 2022. Hal ini menuntut adanya inovasi dari pelaku usaha pada sektor perdagangan, transportasi, informasi dan komunikasi untuk kembali meningkatkan pendapatannya.
Selain sektor-sektor di atas, kita perlu memberikan perhatian lebih terhadap sektor Hotel, Restaurant, dan Cafe (Horeca). Pendapatan pekerja pada sektor Horeca belum kembali ke kondisi primanya, seperti sebelum terjadi pandemi Covid 19. Industri perhotelan dan pariwisata memang tengah berkembang di Provinsi Lampung, ditunjukkan dengan pembukaan hotel berbintang dan pariwisata berkelas nasional/internasional. Namun, tidak sedikit pelaku usaha Horeca yang belum secara optimal kembali membuka usahanya, terutama untuk mereka yang tertinggal arus inovasi dan digitalisasi.
Pelaku usaha perlu terus didampingi dalam berinovasi. Selain TPID yang selalu berupaya menjaga stabilitas harga, percepatan laju pemulihan ekonomi perlu terus didorong melalui sinergi Forum Investasi Lampung (FOILA) serta Tim Percepatan dan Tim Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD). Sinergi ini harus menghasilkan investasi yang berkualitas serta peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui penerapan sistem pembayaran yang lebih transparan dan efisien.
Dalam jangka pendek, seluruh stakeholders perlu bersinergi untuk menjaga optimisme masyarakat. Masifnya pemberitaan mengenai pelemahan daya beli pada skala nasional juga memengaruhi optimisme masyarakat Lampung, ditunjukkan dengan indeks keyakinan konsumen yang melandai. Hal ini dikhawatirkan akan menahan kinerja pertumbuhan ekonomi Lampung di tengah menguatnya momentum pemulihan pada paruh kedua tahun 2024. Sinergi perlu diperkuat untuk memperkuat pemulihan sektor-sektor ekonomi, sembari diiringi upaya perbaikan dalam jangka menengah dan panjang melalui berbagai inovasi. *