PERATURAN Pemerintah No. 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS cukup menarik perhatian, terlebih pada musim libur akademik seperti saat ini. PP tersebut berisi perubahan di Pasal 315.
Mari kita cermati bersama, di PP No. 11 Tahun 2017 bunyi Pasal 315 adalah “PNS yang menduduki jabatan guru pada sekolah dan jabatan dosen pada perguruan tinggi yang mendapat liburan menurut peraturan perundang-undangan, disamakan dengan PNS yang telah menggunakan hak cuti tahunan.” Sedangkan di PP No. 17 Tahun 2020 yang baru, diubah menjadi: “PNS yang menduduki jabatan guru pada sekolah dan jabatan dosen pada perguruan tinggi yang mendapat liburan menurut peraturan perundang-undangan berhak mendapatkan cuti tahunan.”
Kalimat tersebut, menjadi multitafsir, bagi pelaksana teknis di lapangan. Ada yang menafsirkan bahwa dari peraturan baru tersebut, selain mendapat liburan sesuai kalender akademik, guru juga berhak atas cuti tahunan seperti ASN lainnya. Tetapi ada pula yang mengartikan bahwa guru tidak boleh libur saat siswa libur sesuai kalender, melainkan harus mengambil cuti tahunan sama seperti ASN lainnya.
Akibat dari multitafsir tersebut adalah terjadi perbedaan dalam penerapannya. Ada daerah yang menetapkan bahwa libur guru tetap sesuai dengan libur kalender akademik. Namun, ada pula daerah yang memerintahkan guru tetap masuk kerja dan melakukan absensi di saat libur akademik karena yang libur adalah siswanya. Jika guru menghendaki libur, ia harus mengambil cuti tahunan. Bahkan ada pula daerah yang tidak menetapkan secara jelas.
Guru sebagai tenaga kerja atau pegawai fungsional tentu berbeda dengan pegawai struktural, baik secara tugas maupun fungsi. Jabatan atau tenaga fungsional adalah sekelompok jabatan yang memiliki fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional berdasarkan keahlian dan keterampilan tertentu. Sedangkan jabatan struktural adalah jabatan yang terdapat pada struktur organisasi.
Jadi, jika ingin menyamakan hak atas cuti dan libur antara pegawai fungsional dan struktural, tentu akan berimbas pula pada persamaan lainnya. Lantas jika akan disamakan, buat apa ada pemisahan istilah antara fungsional dan struktural?
Tentu hal ini terjadi karena memang keduanya berbeda. Dan perbedaan ini akan memberi konsekuensi lain, salah satunya adalah pada perbedaan waktu libur. Guru sebagai pegawai fungsional, maka liburnya tentu menyesuaikan dengan objek pelayanan, yaitu siswa. Karena sangat tidak efektif jika siswa libur, sementara guru tetap harus hadir ke sekolah. Karena sejatinya keberadaan guru tampak bermakna karena ada siswanya.
Fenomena guru yang tidak libur pada libur akademik akan menimbulkan pertanyaan besar lain, yaitu apakah boleh guru mengambil cuti tahunan, sebanyak maksimal 12 hari kerja, di waktu proses belajar-mengajar sedang berlangsung, sama seperti ASN lain? Tentu tidak boleh, bukan? Karena memang tugas guru berkaitan dengan hadirnya siswa dalam proses belajar-mengajar. Dan itulah korelasi yang sangat tepat.
Kebingungan akan terjadi pada adanya ketentuan bahwa cuti tahunan guru harus dilakukan pada saat libur akademik. Hal ini dirasa tidak adil karena ketentuannya dibedakan dengan ASN pada umumnya yang tidak dibatasi kapan pun mereka akan mengambil cuti tahunannya.
Hendaknya peraturan ini dapat diterjemahkan dengan jelas dan diterapkan sesuai dengan maksud dari peraturan tersebut dibuat sehingga tidak lagi terjadi kebingungan bagi guru kapan ia libur. Jangan membatasi waktu libur akademik guru, dengan dalih menyamakan hak dengan ASN lain, sementara untuk waktu pengambilan cuti libur guru tetap dibatasi. Agar para pendidik dapat bersenandung sama dengan para siswanya, bahwa inilah saatnya “libur tlah tiba”. *