
POLITIK itu kompromi. Politik itu kepentingan. Tidak ada teman abadi dalam politik. Semuanya sarat kepentingan. Adalah Partai Demokrat yang nyata-nyata membebaskan kadernya untuk mendukung pasangan bakal capres dan cawapres Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Padahal, Demokrat sudah ditasbihkan menjadi partai pengusung bakal capres dan cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Banyak orang menilai Partai Demokrat main dua kaki dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kalau mau jujur, baik Prabowo maupun Sandi, bukanlah kader tulen Demokrat. Jadi, sangatlah wajar jika energi partai berlambang Mercy itu tidak sepenuh untuk pilpres. Tapi lebih kepada kepentingan pemilu legislatif (pileg) untuk memenangkan partai.
Putra sulung ketua umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), secara gamblang menyatakan kadernya bebas menentukan pilihan pada saat Pilpres 2019. Kata Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasmas) Partai Demokrat untuk Pilpres 2019, di Pulau Timah, Bangka, Senin (10/9), Demokrat adalah partai yang sangat demokratis.
“Kita memberikan peluang kepada kader untuk menentukan sikapnya. Tapi secara kepartaian sesuai diputuskan oleh Majelis Tinggi Partai Demokrat bahwa dalam kontestasi Pilpres 2019, Demokrat mendukung pasangan Prabowo–Sandiaga,” tegas AHY. Pernyataan sikap itu melegakan. Paling tidak AHY sangat tahu denyut nadi kader di daerah dalam bersikap.
Dinamis
Politik itu sangat dinamis dan hasil fakta di lapangan. Partai Demokrat memberikan dispensasi–kelonggaran kepada kadernya di daerah untuk menggerakkan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf. Mereka adalah Gubernur Papua Lukas Enembe, Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang, Gubernur Banten Wahidin Halim, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, serta mantan Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
Melihat kondisi lapangan itulah, AHY tidak mempermasalahkan jika ada kader yang menentukan sikap berbeda. “Dalam konstituen yang besar, jika ada perbedaan pendapat satu atau dua orang ingin menyuarakan hal yang berbeda saya pikir wajar–wajar saja,” ujar mantan perwira menengah TNI AD ini. Ternyata politik itu tidak hitam atau putih. Tapi abu-abu.
Bahkan, kader vokal Partai Demokrat, Andi Arief, mengatakan Pemilu 2019 membutuhkan energi dan seni yang tinggi. Kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat itu, bahwa koalisi Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS perlu mendiskusikan seni tersendiri agar partai mendapat keuntungan elektoral menjadi proporsional di saat pilpres nanti.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/suara-koruptor/
Pernyataan politikus asal Lampung itu sangat beralasan. Mengapa? Karena PAN, PKS, dan Demokrat di pemilu berbarengan sangatlah berat. Di satu sisi sedang mencari dukungan agar partainya tetap lolos dan bertahan di parlemen. Tapi di sisi lain, partai juga harus mencari dukungan untuk presiden dan wakilnya bukan dari partai sendiri. Harus ada seni agar Gerindra tak besar sendirian,” ujar Andi lewat Twitter, pekan ini.
Taktis
Disampaikan pedangdut, Meggi Z–yang kini sudah almarhum–lagunya berjudul: Benang Biru. “Jangan sampai orang berlabuh, kita sendiri yang tenggelam.” Demokrat berpikir realistis dan taktis, dan tidaknya hanya Partai Demokrat bersikap seperti itu. Mungkin akan diikuti PAN dan PKS dikoalisi Prabowo-Sandiaga. Politik strategi seni tinggi itu, kata Andi, sangat penting bagi keberlangsungan hidup PAN dan PKS di parlemen.
Kalau beralasan seperti itu pimpinan Partai Gerindra sangat menerimanya. Bakal Cawapres Sandiaga sendiri memahami sikap kader Demokrat di daerah yang mendukung Jokowi-Ma’ruf. Bahkan, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon sendiri menilai dukungan itu bukan masalah besar. Tapi bagi Demokrat berdampak besar. Mengapa tidak “patuh” perintah partai?
Dalam konstituen yang besar, jika ada perbedaan pendapat satu atau dua orang ingin menyuarakan hal yang berbeda saya pikir wajar–wajar saja.
Jika Demokrat memiliki kebijakan garis lurus tetap mendukung Prabowo—Sandi, maka akan menyulitkan kadernya di daerahnya banyak dipenuhi pemilih Jokowi-Ma’ruf. Lagi-lagi, kata Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean, sikap kader itu untuk menyelamatkan calon anggota legislatif dari Demokrat, sehingga partainya tetap dipilih di daerah yang mayoritas pendukung Jokowi-Ma’ruf.
Itulah politik. Dinamis dan akan membuat perang dingin. Selalu menjaga jarak. Seperti diungkapkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo. Dia mengingatkan Andi Arief agar lebih menjaga etika berpolitik. Andi, kata dia, selalu mengumbar masalah internal koalisi ke publik. “Berpolitik kan tidak perlu ke luar,” kata Edhy di Jakarta, Rabu lalu.
Elegan
Bahkan, Edhy berpendapat politik harus dilakukan cara santun dan elegan, terutama jika sudah membangun komitmen berkoalisi. Isu seksi masalah internal koalisi tidak perlu diumbar ke publik, kata dia lagi. Sepertinya patut diingatkan juga, melihat kader partai harus utuh. Tidak setengah-setengah. Andi adalah anak seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) terkenal di Lampung, apalagi dia mantan aktivis mahasiswa.
Ormas Islam terbesar di negeri ini lahir lebih dulu dari partai yang ada saat ini. NU berdiri 31 Januari 1926, jauh sebelum Indonesia merdeka, dan yang patut disadarkan juga, bahwa politik itu kompromi untuk berdamai. Orang pasti ingin mencari selamat. Tetap hidup dalam meniti bui di lautan luas.
Kader tidak mau mati sia-sia. Politik dua kaki Partai Demokrat adalah keputusan bijaksana dan sangat tepat. Pastinya nakhoda dan awak lainnya tidak mau berpura-pura. Mereka tahu dan ingin menyelamatkan kapal besar yang lagi berlayar di tengah pusaran arus yang deras itu. ***