ANAK bangsa patut menguji kebenaran ketika menerima dan ingin menyebarkan informasi yang belum diketahui asal-usulnya. Jika berita itu hoaks, penyebarnya diancam hukuman maksimal 10 tahun penjara. Lalu bagaimana pembuat hoaks? Mungkin hukumannya lebih 10 tahun!
Pelakunya dijerat Undang-Undang (UU) Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Terkait kasus Ratna Sarumpaet yang sengaja menyebarkan hoaks tentang pengeroyokan dirinya oleh orang tidak dikenal—cenderung mendiskreditkan aparat keamanan di negeri ini. Hasilnya?
Sarumpaet yang sudah mengotori udara dengan cerita bohongnya meralat bahwa penganiayaan yang membuat wajahnya “benjut-benjut” ternyata hanya akal-akalan. Seniman itu bersandiwara mengelabuhi sang anaknya karena dalam perawatan operasi plastik. Sebegitu takutnya dengan anak, lalu ia mau-maunya berbohong seisi negeri ini?
Lakon penganiayaan Ratna dijadikan kampanye politikus dan pendukung Capres dan cawapres Prabowo-Sandi—menjadi makanan empuk menyerang pemerintahan Jokowi. Apalagi Ratna tercatat sebagai juru kampanye Prabowo-Sandi yang banyak membutuhkan peluru menyerang lawannya! Ternyata? Penganiayaan itu hanyalah khayalan belaka!
Tidak hanya Prabowo, sederetan politikus seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah bahkan mantan Menteri Perekonomian di era Gus Dur, yakni Rizal Ramli, sangat meyakini pemukulan yang memar terhadap Ratna adalah sebuah kebenaran. Mereka berdebat dan berargumen diviralkan di media sosial.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/seribu-lindu/
Banyak orang masuk jurang dibuat Ratna. Bahkan, anak bangsa seisi negeri ini mencaci maki aparat. Berdosakah rakyat? Apakah Ratna cukup minta maaf atas kebohongannya? Ratna berpikir kekinian. Seniman gaek itu tidak tahu dampak yang dibuatnya. Dia buat negeri ini seperti di atas panggung teater miliknya. Semua orang sumpah serapah.
Begitu geramnya rakyat menelan kabar kebohongan. Bahkan, setiap tanggal 3 Oktober—pengakuan kebohongan Ratna akan dijadikan Hari Antihoaks Nasional. Pelajaran yang sangat berharga. Betapa mudahnya para tokoh, politikus, rakyat memercayai kebohongan Ratna tanpa melakukan cek dan recheck. Mereka sibuk membela untuk kepentingan kelompok. Tanpa menguji kebenaran. Rakyat tersungkur dibuatnya.
Menguji sebuah kebenaran sangatlah perlu. Atau memang tidak mau tahu karena disusupi kepentingan. Seorang jurnalis memviralkan berita yang diolahnya dari sebuah portal berita nasional. Ketika ditanya kepada dia, “Hoaks ndak berita ini?” Dia menjawab, “Tidak”. Karena diyakininya, portal yang dikutipnya itu milik institusi pers terkenal.
Ternyata berita itu dibantah lembaga yang diberitakan dan lembaga yang diserang. Gampang sekali membuat berita bohong. Jurnalis belum mampu mencari kebenaran dari sebuah fakta. Cukup menulis berita dari ocehan mulut orang ternama tanpa diuji lagi. Saatnya membersihkan polusi hoaks karena sudah mengotori negeri ini. Rakyat lelah karena diracuni hoaks.
Bohong
Kalau mau jujur Ratna memang doyan berbohong bahkan memviralkannya ke media sosial. Jika info itu salah, dia meminta maaf atas kesalahan berita yang disebarkannya. Itu disampaikan pakar psikologi politik Hamdi Muluk. Pada tanggal 3 Mei 2018, Ratna menyebarkan hoaks tentang PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dijual ke Tiongkok. Belakangan, dia meminta maaf dan mengakui informasi yang disebarkan itu ternyata tidak benar.
Lalu lewat akun media sosialnya, Ratna menyebarkan hoaks tentang pecahan Rp200 ribu. Dalam cuitannya terdapat foto sejumlah pecahan Rp200 ribu. Belakangan dibantah Bank Indonesia. Dia pun minta maaf. Ratna juga bermasalah dengan Bank Dunia terkait pemblokiran rekening milik Ruben PS Marey oleh pemerintah. Dan itu dibantah Bank Dunia.
Contoh hoaks di atas menjadi sebuah keprihatinan dan kewaspadaan untuk anak-anak bangsa. Jika tidak, akan menimbulkan perpecahan. Akrab dengan dunia digital perlulah melakukan cek—apakah laman yang dibaca merupakan berita asli dengan sumber tepercaya? Apalagi menerima video dan foto— tak jarang mengubar kebencian.
Pastikan apakah video dan foto itu hasil editan yang sengaja menyulut perpecahan? Anak bangsa harus cerdas dan piawai— jangan sampai dibohongi sekelompok orang untuk meraih keuntungan sesaat. Bahkan, bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami di Lombok dan Sulawesi Tengah dihujani hoaks.
Kementerian Kominfo merilis ada delapan hoaks menyebar pascabencana. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengidentifikasi 14 akun media sosial diduga menyebarkan berita bohong atau berita berlebihan atau berita tidak lengkap tentang bencana di kedua daerah tersebut.
Hoaks adalah musuh bersama.
Parlemen Singapura menyadari bahaya kabar bohong. Negeri Kepala Singa itu membentuk komite antikabar bohong berisi 10 anggota. Pada Maret 2018, mereka melakukan dengar pendapat dengan 65 orang yang mewakili individu dan organisasi.
Hasilnya? Parlemen itu membuat undang-undang dan merekomendasikan pendidikan bagi rakyatnya agar melek kabar bohong. Dan Indonesia sudah melakukan dengan menerbitkan UU ITE dan meregistrasi kembali nomor telepon seluler. Sekali lagi jangan dianggap ringan hoaks. Anak bangsa yang berpangkat, bertitel, kiai, pendeta, lunglai dibuat kabar bohong.
Menyikapi hoaks mendapat perhatian serius di Lampung. Kalangan rektor, politikus, dan aparat keamanan meminta pemerintah menghadang aksi hoaks. Berita bohong yang menyebar dengan isu-isu agama dan suku sangat rentan mengadu domba anak-anak bangsa. Percaya atau tidak, hoaks sengaja diproduksi dengan imbalan untuk meracuni rakyat, apalagi menjelang pesta politik 2019 mendatang. ***